7 Langit & 7 Malaikat Penjaga
Posted
on 1
November 2009 by Salik
Paramartha
Telah diceritakan
oleh Ibnu al-Mubarak tentang seorang laki-laki yang bernama Khalid bin Ma’dan,
dimana ia pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal ra., salah seorang sahabat
Nabi Muhammad saw.
“Wahai Mu’adz! Ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang telah
engkau dengar langsung dari Rasulullah saw., suatu hadits yang engkau hafal dan
selalu engkau ingat setiap harinya disebabkan oleh sangat kerasnya hadits
tersebut, sangat halus dan mendalamnya hadits tersebut. Hadits yang manakah
yang menurut engkau yang paling penting?”
Kemudian, Khalid bin Ma’dan menggambarkan keadaan Mu’adz sesaat
setelah ia mendengar permintaan tersebut, “Mu’adz tiba-tiba saja menangis
sedemikian rupa sehingga aku menduga bahwa beliau tidak akan pernah berhenti
dari menangisnya. Kemudian, setelah beliau berhenti dari menangis, berkatalah
Mu’adz: Baiklah aku akan menceritakannya, aduh betapa rinduku kepada
Rasulullah, ingin rasanya aku segera bersua dengan beliau”
Selanjutnya Mu’adz bin Jabal ra. mengisahkan sebagai berikut,
“Ketika aku mendatangi Rasulullah saw., beliau sedang menunggangi unta dan
beliau menyuruhku untuk naik di belakang beliau. Maka berangkatlah aku bersama
beliau dengan mengendarai unta tersebut. Sesaat kemudian beliau menengadahkan
wajahnya ke langit, kemudian bersabdalah Rasulullah saw.:”
“Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang memberikan
ketentuan (qadha) atas segenap makhluk-Nya menurut kehendak-Nya, ya Mu’adz!”.
Aku menjawab, “Labbaik yaa Sayyidal Mursaliin”.
“Wahai Mu’adz! Sekarang akan aku beritakan kepadamu suatu hadits
yang jika engkau mengingat dan tetap menjaganya maka (hadits) ini akan memberi
manfaat kepadamu di hadhirat Allah, dan jika engkau melalaikan dan tidak
menjaga (hadits) ini maka kelak di Hari Qiyamah hujjahmu akan terputus di
hadhirat Allah Ta’ala!”
“Wahai Mu’adz! Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah
menciptakan tujuh Malaikat sebelum Dia menciptakan tujuh lelangit dan bumi.
Pada setiap langit tersebut ada satu Malaikat yang menjaga khazanah, dan setiap
pintu dari pintu-pintu lelangit tersebut dijaga oleh seorang Malaikat penjaga,
sesuai dengan kadar dan keagungan (jalaalah) pintu tersebut.
Maka naiklah al-Hafadzah (malaikat-malaikat penjaga insan)
dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang telah ia lakukan semenjak
subuh hari hingga petang hari. Amal perbuatan tersebut tampak bersinar dan
menyala-nyala bagaikan sinar matahari, sehingga ketika al-Hafadzah membawa naik
amal perbuatan tersebut hingga ke Langit Dunia mereka melipat gandakan dan
mensucikan amal tersebut. Dan ketika mereka sampai di pintu Langit Pertama,
berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Pukulkanlah amal
perbuatan ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ghiibah’, yang mengawasi
perbuatan ghiibah (menggunjing orang), aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk
tidak membiarkan amal ini melewatiku untuk menuju ke langit yang berikutnya!”
Kemudian naiklah pula al-Hafadzah yang lain dengan membawa amal
shalih diantara amal-amal perbuatan seorang hamba. Amal shalih itu bersinar
sehingga mereka melipat-gandakan dan mensucikannya. Sehingga ketika amal
tersebut sampai di pintu Langit Kedua, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada
al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah
pemiliknya, karena ia dengan amalannya ini hanyalah menghendaki kemanfaatan
duniawi belaka! Akulah ‘Malakal Fakhr’, malaikat pengawas kemegahan, aku telah
diperintah Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan ini melewatiku menuju
ke langit berikutnya, sesungguhnya orang tersebut senantiasa memegahkan dirinya
terhadap manusia sesamanya di lingkungan mereka!”. Maka seluruh malaikat
mela’nat orang tersebut hingga petang hari.
Dan naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba yang
lain. Amal tersebut demikian memuaskan dan memancarkan cahaya yang jernih,
berupa amal-amal shadaqah, shalat, shaum, dan berbagai amal bakti (al-birr)
yang lainnya. Kecemerlangan amal tersebut telah membuat al-Hafadzah takjub
melihatnya, mereka pun melipat-gandakan amal tersebut dan mensucikannya, mereka
diizinkan untuk membawanya. Hingga sampailah mereka di pintu Langit Ketiga,
maka berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian!
Pukulkanlah amal ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibil Kibr’, malaikat
pengawas kesombongan, aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan
amal perbuatan seperti ini lewat dihadapanku menuju ke langit berikutnya!
Sesungguhnya pemilik amal ini telah berbuat takabbur di hadapan manusia di
lingkungan (majelis) mereka!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah yang lainnya dengan membawa amal
seorang hamba yang sedemikian cemerlang dan terang benderang bagaikan
bintang-bintang yang gemerlapan, bagaikan kaukab yang diterpa cahaya.
Kegemerlapan amal tersebut berasal dari tasbih, shalat, shaum, haji dan umrah.
Diangkatlah amalan tersebut hingga ke pintu Langit Keempat, dan berkatalah
Malaikat penjaga pintu langit kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian!
Pukulkanlah amal ini ke wajah, punggung, dan perut dari si pemiliknya! Akulah
‘Shaahibul Ujbi’, malaikat pengawas ‘ujub (mentakjubi diri sendiri), aku telah
diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku
menuju ke langit berikutnya! Sesungguhnya si pemilik amal ini jika mengerjakan
suatu amal perbuatan maka terdapat ‘ujub (takjub diri) didalamnya!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba
hingga mencapai ke Langit Kelima, amalan tersebut bagaikan pengantin putri yang
sedang diiring diboyong menuju ke suaminya. Begitu sampai ke pintu Langit
Kelima, amalan yang demikian baik berupa jihad, haji dan umrah yang cahayanya
menyala-nyala bagaikan sinar matahari. Maka
berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian!
Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya dan pikulkanlah pada
pundaknya! Akulah ‘Shaahibul Hasad’, malaikat pengawas hasad (dengki),
sesungguhnya pemilik amal ini senantiasa menaruh rasa dengki (hasad) dan iri
hati terhadap sesama yang sedang menuntut ilmu, dan terhadap sesama yang sedang
beramal yang serupa dengan amalannya, dan ia pun juga senantiasa hasad kepada
siapapun yang berhasil meraih fadhilah-fadhilah tertentu dari suatu ibadah
dengan berusaha mencari-cari kesalahannya! Aku telah diperintah oleh Rabb-ku
untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku untuk menuju ke langit
berikutnya!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa
amal perbuatan seorang hamba yang memancarkan cahaya yang terang benderang
seperti cahaya matahari, yang berasal dari amalan menyempurnakan wudhu, shalat
yang banyak, zakat, haji, umrah, jihad, dan shaum. Amal perbuatan ini mereka
angkat hingga mencapai pintu Langit Keenam. Maka berkatalah malaikat penjaga
pintu ini kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan
ini ke wajah pemiliknya, sesungguhnya sedikitpun ia tidak berbelas kasih kepada
hamba-hamba Allah yang sedang ditimpa musibah (balaa’) atau ditimpa sakit,
bahkan ia merasa senang dengan hal tersebut! Akulah ‘Shaahibur-Rahmah’,
malaikat pengawas sifat rahmah (kasih sayang), aku telah diperintahkan Rabb-ku
untuk tidak membiarkan amal perbuatan seperti ini melewatiku menuju ke langit
berikutnya!”
Dan naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal
perbuatan seorang hamba yang lain, amal-amal berupa shaum, shalat, nafaqah,
jihad, dan wara’ (memelihara diri dari perkara-perkara yang haram dan
subhat/meragukan). Amalan tersebut mendengung seperti dengungan suara lebah, dan
bersinar seperti sinar matahari. Dengan diiringi oleh tiga ribu malaikat,
diangkatlah amalan tersebut hingga mencapai pintu Langit Ketujuh. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada
al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya,
pukullah anggota badannya dan siksalah hatinya dengan amal perbuatannya ini!
Akulah ‘Shaahibudz-Dzikr’, malaikat pengawas perbuatan mencari nama-diri (ingin
disebut-sebut namanya), yakni sum’ah (ingin termashur). Akulah yang akan
menghijab dari Rabb-ku segala amal perbuatan yang dikerjakan tidak demi
mengharap Wajah Rabb-ku! Sesungguhnya orang itu dengan amal perbuatannya ini
lebih mengharapkan yang selain Allah Ta’ala, ia dengan amalannya ini lebih
mengharapkan ketinggian posisi (status) di kalangan para fuqaha (para ahli),
lebih mengharapkan penyebutan-penyebutan (pujian-pujian) di kalangan para
ulama, dan lebih mengharapkan nama baik di masyarakat umum! Aku telah
diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini lewat
dihadapanku! Setiap amal perbuatan yang tidak dilakukan dengan ikhlash karena
Allah Ta’ala adalah suatu perbuatan riya’, dan Allah tidak akan menerima segala
amal perbuatan orang yang riya’!”
Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa
amal perbuatan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum, haji, umrah,
berakhlak baik, diam, dan dzikrullah Ta’ala. Seluruh malaikat langit yang tujuh
mengumandang-kumandangkan pujian atas amal perbuatan tersebut, dan diangkatlah
amalan tersebut dengan melampaui seluruh hijab menuju ke hadhirat Allah Ta’ala.
Hingga sampailah dihadhirat-Nya, dan para malaikat memberi kesaksian kepada-Nya
bahwa ini merupakan amal shalih yang dikerjakan secara ikhlash karena Allah
Ta’ala.
Maka berkatalah Allah Ta’ala kepada
al-Hafadzah, “Kalian adalah para penjaga atas segala amal perbuatan hamba-Ku,
sedangkan Aku adalah Ar-Raqiib, Yang Maha Mengawasi atas segenap lapisan hati
sanubarinya! Sesungguhnya ia dengan amalannya ini tidaklah menginginkan Aku dan
tidaklah mengikhlashkannya untuk-Ku! Amal perbuatan ini ia kerjakan semata-mata
demi mengharap sesuatu yang selain Aku! Aku yang lebih mengetahui ihwal apa
yang diharapkan dengan amalannya ini! Maka baginya laknat-Ku, karena ini telah
menipu orang lain dan telah menipu kalian, tapi tidakklah ini dapat menipu Aku!
Akulah Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib, Maha Melihat segala apa
yang ada di dalam hati, tidak akan samar bagi-Ku setiap apa pun yang tersamar,
tidak akan tersembunyi bagi-Ku setiap apa pun yang bersembunyi! Pengetahuan-Ku
atas segala apa yang akan terjadi adalah sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala
yang baqa (kekal), Pengetahuan-Ku tentang yang awal adalah sama dengan
Pengetahuan-Ku tentang yang akhir! Aku lebih mengetahui perkara-perkara yang
rahasia dan lebih halus, maka bagaimana Aku dapat tertipu oleh hamba-Ku dengan
ilmunya? Bisa saja ia menipu segenap makhluk-Ku yang tidak mengetahui, tetapi Aku
Maha Mengetahui Yang Ghaib, maka baginya laknat-Ku!”
Maka berkatalah malaikat yang tujuh dan
3000 malaikat yang mengiringi, “Yaa Rabbana, tetaplah laknat-Mu baginya dan
laknat kami semua atasnya!”, maka langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya
menjatuhkan la’nat kepadanya.
Setelah mendengar semua itu dari lisan
Rasulullah saw. maka menagislah Mu’adz dengan terisak-isak, dan berkata, “Wahai
Rasulullah! Engkau adalah utusan Allah sedangkan aku hanyalah seorang Mu’adz,
bagaimana aku dapat selamat dan terhindar dari apa yang telah engkau sampaikan
ini?”
Berkatalah Rasulullah saw., “Wahai Mu’adz! Ikutilah Nabi-mu ini
dalam soal keyakinan sekalipun dalam amal perbuatanmu terdapat kekurangan.
Wahai Mu’adz! Jagalah lisanmu dari kebinasaan dengan meng-ghiibah manusia dan
meng-ghiibah saudara-saudaramu para pemikul Al-Qur’aan. Tahanlah dirimu dari
keinginan menjatuhkan manusia dengan apa-apa yang kamu ketahui ihwal aibnya! Janganlah engkau mensucikan dirimu dengan jalan
menjelek-jelekan saudara-saudaramu! Janganlah engkau meninggikan dirimu dengan
cara merendahkan saudara-saudaramu! Pikullah sendiri aib-aibmu dan jangan
engkau bebankan kepada orang lain”
“Wahai Mu’adz! Janganlah engkau masuk
kedalam perkara duniamu dengan mengorbankan urusan akhiratmu! Janganlah berbuat
riya’ dengan amal-amalmu agar diketahui oleh orang lain dan janganlah engkau
bersikap takabbur di majelismu sehingga manusia takut dengan sikap burukmu!”
“Janganlah engkau berbisik-bisik dengan
seseorang sementara di hadapanmu ada orang lain! Janganlah engkau
mengagung-agungkan dirimu dihadapan manusia, karena akibatnya engkau akan
terputus dari kebaikan dunia dan akhirat! Janganlah engkau berkata kasar di
majelismu dan janganlah engkau merobek-robek manusia dengan lisanmu, sebab
akibatnya di Hari Qiyamah kelak tubuhmu akan dirobek-robek oleh anjing-anjing
neraka Jahannam!”
“Wahai Mu’adz! Apakah engkau memahami makna
Firman Allah Ta’ala: ‘Wa naasyithaati nasythan!’ (‘Demi yang
mencabut/menguraikan dengan sehalus-halusnya!’, An-Naazi’aat [79]:2)? Aku berkata,
“Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. bersabda, “Anjing-anjing di
dalam Neraka yang mengunyah-ngunyah daging manusia hingga terlepas dari
tulangnya!”
Aku berkata, “Demi bapakku, engkau, dan
ibuku! Ya Rasulullah, siapakah manusia yang bisa memenuhi seruanmu ini sehingga
terhindar dari kebinasaan?”
Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Mu’adz,
sesungguhnya hal demikian itu sangat mudah bagi siapa saja yang diberi
kemudahan oleh Allah Ta’ala! Dan untuk memenuhi hal tersebut, maka cukuplah
engkau senantiasa berharap agar orang lain dapat meraih sesuatu yang engkau
sendiri mendambakan untuk dapat meraihnya bagi dirimu, dan membenci orang lain
ditimpa oleh sesuatu sebagaimana engkau benci jika hal itu menimpa dirimu sendiri!
Maka dengan ini wahai Mu’adz engkau akan selamat, dan pasti dirimu akan
terhindar!”
Khalid bin Ma’dan berkata, “Sayyidina
Mu’adz bin Jabal ra. sangat sering membaca hadits ini sebagaimana seringnya
beliau membaca Al-Qur’aan, dan sering mempelajari hadits ini sebagaimana
seringnya beliau mempelajari Al-Qur’aan di dalam majelisnya”.
Peti Kuno Nuri Bey
Posted
on 18
November 2009 by Salik
Paramartha
Nuri Bey adalah seorang Albania yang suka
tepekur dan disegani, yang beristrikan wanita jauh lebih muda dari dirinya.
Suatu malam, ketika ia pulang lebih awal dan biasanya seorang
pelayan yang setia menghadapnya dan berkata, “Istri Tuan berkelakuan
mencurigakan. Ia berada di kamarnya dengan sebuah peti besar, cukup besar untuk
menyimpan orang; peti itu dulu milik kakek Tuan. Mestinya peti itu hanya berisi beberapa sulaman kuno.
Hamba yakin, kini didalamnya terdapat lebih dari sekedar sulaman. Dan hamba,
yang sejak dulu menjaganya, kini tidak diperbolehkan membukanya.”
Nuri pergi kekamar istrinya, dan
mendapatkannya duduk murung disamping peti kayu besar itu.
“Boleh aku melihat isi kotak itu?” tanya
suaminya
“Karena kecurigaan pelayan, atau karena
Tuan tidak lagi mempercayai saya?”
“Bukankah lebih mudah membukanya saja,
tanpa harus memasalahkan kaitan maksudnya?”
“Tidak bisa.”
“Apa terkunci?”
“Ya”
“Di mana kuncinya?”
Istrinya menunjukkan kunci itu, “Pecat
pelayan itu, nanti saya berikan kunci itu kepada Tuan.”
Pelayan itu dipecat. Wanita itu menyerahkan
kunci dan iapun berlalu, tentu dengan pikiran kacau.
Nuri Bey berpikir lama. Kemudian
dipanggilnya empat orang tukang kebunnya. Malam itu mereka bersama-sama
mengangkat peti itu jauh ke ujung kebun, lalu menguburnya.
Masalah itu tidak pernah disebut-sebut lagi.
Catatan
Kisah yang menggelitik ini, yang berulang kali dikatakan
memiliki arti dalam di samping nasehatnya yang jelas, merupakan sebagian dari
naskah para darwis pengembara, yang pengayom sucinya adalah Yusuf dari
Andalusia pada abad ketiga belas.
Di Turki, jumlah mereka itu sangat banyak.
Kisah ini, dalam versi yang lebih dikembangkan, menyusup ke Bahasa Inggris
melalui karya H.G. Dwight, Stambul Nights ‘Malam-malam Istambul,’
diterbitkan di Amerika Serikat tahun 1916 dan 1922.
Orang-Orang Pulau
Posted on 1 November 2009 by Salik Paramartha
Manusia biasa (awam) menyesali
dosa-dosanya, Manusia pilihan menyesali kelalaiannya. (Dzun-Nun al-Mishri)
Semua dongeng, paling tidak mengandung kebenaran
tertentu dan seringkali dongeng-dongeng itu memungkinkan masyarakat menyerap
gagasan-gagasan yang sulit dipahami atau bahkan tidak bisa dicerna jika
disampaikan dalam bentuk pemikiran yang wajar. Oleh karena itu, dongeng
digunakan para guru Sufi untuk memberikan suatu gambaran kehidupan yang lebih
sejalan dengan perasaan mereka dibandingkan melalui wahana kegiatan
intelektual.
Berikut ini ada sebuah dongeng Sufi yang telah
dirangkum dan biasanya disesuaikan dengan masa dongeng yang dikisahkan.
Sementara dongeng-dongeng “hiburan” biasa, dipandang oleh para penulis Sufi
sebagai suatu bentuk kesenian yang telah merosot atau lebih rendah nilainya.
Pada suatu masa ada sebuah masyarakat yang hidup
di sebuah pulau yang sangat terpencil. Para anggota masyarakat ini tidak
mempunyai rasa takut seperti kita saat ini. Alih-alih ketidakpastian dan
kegamangan, mereka mempunyai tujuan yang pasti dan cara-cara yang lebih
sempurna dalam mengekspresikan diri. Meskipun tidak ada tekanan dan ketegangan
sebagai unsur penting kemajuan bagi manusia sekarang. Kehidupan mereka lebih kaya,
karena sebab-sebab lain, yakni unsur-unsur kehidupan yang lebih baik daripada
kehidupan saat ini. Oleh karena itu, kehidupan mereka adalah suatu bentuk
eksistensi yang agak berbeda. Kita hampir bisa menyatakan bahwa persepsi kita
saat ini adalah versi sementara dan kasar dari persepsi masyarakat ini.
Mereka menjalani kehidupan sejati, bukan kehidupan
semu. Kita dapat menyebut mereka masyarakat El Ar.
Masyarakat ini mempunyai seorang pemimpin yang
menyadari bahwa negeri mereka akan punah, katakanlah selama 20.000 (dua puluh
ribu) tahun yang akan datang. Ia merencanakan pengungsian dan menyadari bahwa
keturunan mereka hanya akan berhasil pulang kembali setelah melalui berbagai
ujian.
Ia menemukan sebuah tempat pengungsian bagi
mereka, yaitu sebuah pulau yang sepintas lalu bentuknya mirip dengan tanah air
asal mereka. Karena perbedaan udara dan situasi, para imigran itu harus
melakukan transformasi. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan fisik dan mental
mereka dengan lingkungan baru. Sebagai contoh, persepsi-persepsi kasar diganti
dengan persepsi yang lebih halus, seperti tangan seorang pekerja kasar menjadi
keras karena tuntutan pekerjaannya.
Untuk mengurangi penderitaan akibat perbedaan
antara keadaan lama dan baru itu, mereka dikondisikan untuk melupakan masa lalu
secara hampir menyeluruh. Hanya kenangan masa lalu yang paling kuat tetap
tersisa. Tetapi hal ini sudah memadai untuk digunakan bila diperlukan.
Sistem masyarakat ini sangat rumit namun tetap
diatur dengan baik. Alat-alat untuk bertahan hidup di pulau itu dibuat,
demikian pula sarana-sarana hiburan fisik dan mental. Alat-alat yang sangat
berguna dari tanah air lama disimpan di sebuah tempat khusus sebagai kenangan
lama dan persiapan untuk digunakan di kemudian hari.
Lambat laun dan dengan susah payah akhirnya para
imigran menetap dan menyesuaikan diri dengan kondisi lokal. Sumber daya di
pulau itu sedemikian rupa sehingga dengan upaya dan bimbingan tertentu,
masyarakat akhirnya bisa melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya untuk
kembali ke tanah asal mereka. Ini adalah pulau pertama dari kepulauan lainnya
yang masih membutuhkan penyesuaian secara bertahap.
Tanggung jawab atas “evolusi” ini dibebankan
kepada pribadi-pribadi yang mampu mengembannya. Tentu saja tanggung jawab ini
hanya untuk sebagian kecil orang, karena bagi kebanyakan orang, upaya menjaga
kedua bentuk pengetahuan itu dalam kesadaran mereka niscaya tidak mungkin. Di
antara mereka cenderung muncul pertentangan. Hanya para ahli yang dapat menjaga
“ilmu khusus” itu.
“Ilmu rahasia” ini, yaitu metode mengefektifkan
peralihan, tidak lain adalah pengetahuan dan ketrampilan maritim. Kebebasan
atau pengungsian membutuhkan seorang instruktur, bahan baku, masyarakat, usaha
dan pemahaman. Untuk itu masyarakat bisa belajar renang sekaligus membangun kapal.
Orang-orang yang sejak semula bertanggung jawab
atas operasi pengungsian menjelaskan kepada setiap orang bahwa persiapan
tertentu diperlukan sebelum seseorang belajar renang atau bahkan ikut serta
dalam membangun kapal. Pada suatu masa, proses tersebut berlangsung secara
memuaskan.
Kemudian seorang laki-laki yang pada saat itu
ternyata kurang memenuhi persyaratan, menentang aturan main dan berusaha
mengembangkan suatu gagasan umum. Ia mengamati bahwa pengungsian itu adalah
tugas yang berat dan selalu disambut dingin oleh masyarakat. Pada saat yang
sama mereka juga diharapkan untuk mempercayai segala sesuatu tentang operasi
pengungsian. Ia menyadari bahwa dirinya mampu meraih kekuasaan dan dapat
membalas dendam kepada mereka yang menurutnya telah merendahkan dirinya dengan
mengeksploitasi dua kenyataan itu.
Ia sebenarnya hanya ingin meninggalkan beban itu
dan menegaskan bahwa (sebenarnya) tidak ada beban yang perlu dipikul.
Kemudian ia mengeluarkan pernyataan berikut ini:
“Manusia sama sekali tidak perlu mengintegrasikan
dan melatih pikiran sesuai dengan cara yang telah dijelaskan kepada kalian.
Pikiran manusia adalah suatu unsur yang telah mantap, sinambung dan konsisten.
Kalian telah dianjurkan bahwa kalian harus menjadi seorang pengrajin dalam
membangun kapal. Saya katakan bahwa kalian tidak saja perlu menjadi pengrajin,
tapi kalian juga sama sekali tidak memerlukan kapal! Penghuni pulau ini hanya
perlu menjaga aturan sederhana untuk bertahan hidup dan menyatu dengan
masyarakat. Dengan mempergunakan akal sehat yang diberikan kepada setiap orang,
ia bisa meraih apa saja di pulau ini, sebagai rumah kita, milik umum dan
warisan bagi setiap orang!”
Setelah masyarakat sangat tertarik pada pernyataan
ini, sang penghasut “membuktikan” pesannya itu dengan mengatakan:
“Jika memang ada realitas di dalam kapal dan
renang itu, tunjukkan kepada kami kapal-kapal yang telah melakukan perjalanan
dan para perenang yang telah kembali!”
Hal ini adalah tantangan berat bagi para
instruktur. Perkataannya didasarkan pada asumsi yang membingungkan masyarakat
sehingga sekarang mereka tidak bisa melihat kekeliruan asumsi itu. Anda tahu,
tidak pernah ada kapal yang kembali dari pulau lain. Jika memang para perenang
kembali, mereka telah menyesuaikan diri dengan keadaan baru sehingga tidak bisa
dilihat oleh orang kebanyakan.
Namun kerumunan ini menuntut bukti.
“Pembangunan kapal,” kata para pengungsi
kepada para pemberontak, “adalah sebuah seni dan ketrampilan. Pengajaran dan
pelatihan dalam ajaran ini membutuhkan teknik-teknik khusus. Semua ini
membentuk suatu aktivitas total yang tidak bisa diuji secara parsial sesuai
dengan tuntutan kalian. Aktivitas ini mempunyai unsur yang tak terlihat, yakni
apa yang disebut barakah.
Inilah asal kata barque — artinya sebuah kapal. Makna kata ini
adalah ‘Kepelikan’ dan tidak dapat ditunjukkan kepada kalian.”
“Seni, ketrampilan, totalitas, barakah, semua itu omong
kosong!” teriak kalangan revolusioner.
Kemudian mereka menggantung setiap ahli pembuat
kapal yang mereka temui.
Kitab suci baru itu disambut hangat oleh semua
kalangan sebagai salah satu sarana pembebasan. Manusia telah menyadari bahwa
dirinya telah dewasa! Setidaknya pada masa itu ia merasa telah terbebas dari
tanggung jawab.
Semua pola pemikiran yang berbeda segera
dimusnahkan oleh konsep revolusioner yang sederhana dan nyaman itu. Konsep ini
segera dipandang sebagai fakta dasar yang tidak pernah ditentang oleh manusia
rasional. Manusia rasional di sini maksudnya seseorang yang menyesuaikan dengan
teori umum itu. Berdasarkan teori umum inilah masyarakat dibangun.
Setiap gagasan yang menentang gagasan baru ini
selalu disebut irasional. Sesuatu yang irasional pasti jelek. Sejak itu,
meskipun ada berbagai keraguan, individu harus menekan dan membuangnya, sebab
berapa pun biayanya ia harus dianggap rasional.
Tidaklah terlalu sulit untuk bersikap rasional.
Seseorang hanya perlu mengikuti nilai-nilai masyarakat. Lebih jauh lagi bukti
kebenaran rasionalitas itu mudah ditemukan — dengan syarat bahwa seseorang
tidak berpikir di luar pola pemikiran pulau itu.
Maka untuk sementara, masyarakat telah
menyesuaikan diri di pulau itu dan tampaknya bisa memenuhi kebutuhan secara
memadai jika dilihat dari cara-cara yang mereka gunakan. Keadaan ini dicapai
berkat akal dan emosi yang seolah-olah masuk akal. Sebagai contoh, kanibalisme
diperbolehkan karena ada alasan rasional, yaitu bahwa tubuh manusia ternyata
bisa dimakan. Kondisi ini adalah salah satu ciri makanan. Oleh karena itu,
tubuh manusia adalah makanan. Untuk menutupi cacat dari cara berpikir ini, maka
dibuat dalih. Kanibalisme dikontrol demi kepentingan masyarakat. Kompromi ini
merupakan ciri keseimbangan sementara. Berulangkali seseorang mengarah pada
suatu kompromi baru dan perjuangan antara akal, ambisi dan masyarakat yang
menghasilkan norma sosial baru.
Lantaran ketrampilan membuat kapal tidak mempunyai
cara penerapan yang jelas dalam masyarakat ini, maka ia dengan mudah dipandang
sebagai sesuatu yang absurd. Perahu tidak diperlukan — tidak ada satu pun
tempat tujuan. Berbagai konsekuensi dari sebuah asumsi dapat dibuat untuk
“membuktikan” kebenaran asumsi tersebut. Inilah yang disebut kepastian semu,
sebagai pengganti dari kepastian sejati. Hal ini kita hadapi sehari-hari.
Tetapi orang-orang pulau menerapkannya kepada segala sesuatu.
Dua entri dalam Island Universal Encyclopedia (Ensiklopedia Universal Pulau)
memaparkan cara kerja proses itu. Dengan menyaring hikmah dari nutrisi mental
mereka satu-satunya dan dengan segala kejujuran, para cendekiawan pulau
menghasilkan jenis kebenaran berikut ini:
Ship (Kapal): Sesuatu yang tak menyenangkan.
Sebuah kendaraan imajiner yang diklaim oleh para pendusta dan penyeleweng
sebagai alat untuk “menyeberangi air”, namun kini secara ilmiah terbukti
sebagai suatu kerancuan. Setiap bahan di pulau tersebut pasti tenggelam.
Padahal sebuah “kapal” dibuat dari salah satu bahan di pulau itu. Selain itu orang meragukan apakah memang
ada tujuan di luar pulau. Mengajarkan “pembangunan kapal” adalah kejahatan
besar menurut Undang-Undang XVII dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal J
tentang Perlindungan terhadap Orang-orang yang Mudah Terpedaya. Shipbuilding
mania adalah suatu bentuk ekstrim dari eskapisme mental, suatu gejala
ketidakmampuan masyarakat menyesuaikan diri. Setiap warga negara wajib
memberitahukan kepada pejabat berwenang jika mereka mencurigai kondisi tragis
ini menimpa seseorang.
Lihat: Swimming; Mental Aberrations; Crime (Major).
Bacaan: Smith,
J., Why “Ships” Cannot be
Built, Island University Monograph No. 1151.
Swimming (Renang): Sesuatu yang tak diakui.
Diyakini sebagai suatu cara menggerakkan tubuh melewati air agar tidak
tenggelam; secara umum bertujuan “mencapai sebuah tempat di luar pulau”.
“Murid” dari seni yang tak diakui ini harus mematuhi sebuah ritual absurd.
Dalam pelajaran pertama, ia harus menelungkupkan tubuhnya di atas tanah dan
menggerakkan tangan serta kaki sesuai dengan petunjuk dari seorang
“instruktur”. Semua konsep itu berdasar pada keinginan para “instruktur” yang
mempunyai gaya tersendiri untuk menguasai orang-orang yang mudah terpedaya pada
masa primitif. Akhir-akhir ini, cara pemujaan itu telah menjelma sebuah wabah
kegilaan yang menyebar.
Lihat: Ship; Heresies; Pseudoarts.
Bacaan: Brown,
W, The Great “Swimming”
Madness, 7 volume, Institute of Social Lucidity.
Kata “tidak
menyenangkan” dan “tidak diakui” itu digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang
bertentangan dengan kitab suci baru itu. Kitab suci baru itu sendiri dikenal
sebagai ajaran yang “Menyenangkan”. Gagasan di baliknya adalah bahwa masyarakat
sekarang bisa menyenangkan dirinya sendiri, demi kepentingan umum dan
menyenangkan negara. Lembaga di sini dipahami sebagai lembaga yang mencakup
semua masyarakat.
Tidaklah
mengejutkan bila sejak awal niat meninggalkan pulau menimbulkan rasa takut luar
biasa bagi setiap orang. Demikian pula
rasa takut bisa terlihat pada tahanan yang telah lama di penjara dan akan
dibebaskan. Dunia “luar” penjara adalah suatu dunia yang samar, tidak dikenal
dan menakutkan.
Pulau itu bukanlah sebuah penjara. Tetapi
ia adalah sebuah sangkar dengan jeruji-jeruji yang tak terlihat, namun lebih
efektif dibandingkan sangkar dengan jeruji-jeruji yang terlihat.
Masyarakat pulau kini semakin lebih kompleks. Kita
hanya bisa melihat hal itu melalui beberapa bentuknya yang mencolok.
Kepustakaan mereka sangat kaya. Disamping berbagai komposisi budaya, ada
berbagai buku yang menjelaskan nilai-nilai dan keberhasilan bangsa-bangsa.
Demikian pula ada sebuah sistem fiksi alegoris yang menggambarkan betapa
kehidupan ini akan sengsara bila masyarakat tidak mengatur diri dengan sistem
yang diyakini saat ini.
Dari waktu ke waktu para instruktur berusaha
membantu seluruh masyarakat untuk meloloskan diri. Para kapten kapal
mengabdikan dirinya untuk menciptakan kembali suatu iklim kondusif bagi para
pembuat kapal yang kini bersembunyi melanjutkan pekerjaannya. Semua upaya ini
ditafsirkan oleh para sejarawan dan sosiolog dengan merujuk pada berbagai
keadaan di pulau itu tanpa berniat untuk melakukan hubungan di luar masyarakat
yang tertutup ini. Berbagai penjelasan yang masuk akal tentang hampir semua hal
secara komparatif mudah diberikan. Tidak ada prinsip etik, sebab para sarjana
tetap mengkaji apa yang dipandang benar dengan penuh ketulusan. “Apa lagi yang
bisa kita kerjakan?” Kata “lagi” mengimplikasikan bahwa alternatif itu mungkin
merupakan suatu upaya kuantitatif. Atau mereka saling bertanya, “Adakah hal lain yang bisa kita kerjakan?” dengan
asumsi bahwa jawabannya mungkin terletak pada kata “lain” itu — sesuatu yang
berbeda. Masalah mereka sebenarnya adalah anggapan mereka bahwa dirinya mampu
untuk merumuskan pertanyaan dan mengabaikan fakta bahwa pertanyaan sepenting
jawaban.
Para penghuni pulau niscaya mempunyai ruang
lingkup pemikiran dan tindakan yang luas dalam bidang mereka sendiri yang
sempit. Berbagai gagasan dan perbedaan pendapat yang muncul mengesankan
kebebasan berpikir. Pemikiran digalakkan dengan syarat tidak “absurd”.
Kebebasan berbicara diperbolehkan. Tetapi hal ini
sedikit manfaatnya tanpa mengupayakan pengembangan pemahaman.
Kerja dan empati dari para navigator harus
mengambil aspek lain sesuai dengan berbagai perubahan di dalam masyarakat. Hal
ini justru membuat realitas mereka jauh lebih membingungkan bagi para murid
yang berusaha mengikuti mereka dari sudut pandang yang berlaku di pulau itu.
Di tengah-tengah semua kebingungan ini, kemampuan
untuk menyadari kemungkinan meloloskan diri pada masa-masa tertentu bahkan bisa
menjadi kendala. Kesadaran potensial yang mendorong untuk meloloskan diri
tidaklah begitu jelas. Yang lebih sering terjadi adalah para calon pelarian
yang bersemangat itu menerima suatu pengganti. Suatu konsep navigasi yang kabur
tidak akan berguna tanpa orientasi. Bahkan para pembuat kapal yang paling
bersemangat sekalipun dilatih untuk meyakini bahwa mereka telah mempunyai
orientasi itu. Mereka telah matang. Mereka membenci setiap orang yang
menunjukkan bahwa mereka mungkin memerlukan persiapan.
Cara-cara berenang atau membuat kapal yang aneh
itu seringkali tidak memungkinkan untuk mencapai kemajuan yang sesungguhnya.
Yang layak dikecam adalah para pembela renang semu atau kapal-kapal alegoris.
Mereka hanyalah penipu yang menawarkan pelajaran kepada mereka yang masih
terlalu lemah untuk berenang atau menulis tentang kapal yang tidak bisa mereka
bangun.
Pada mulanya masyarakat membutuhkan pola-pola
efisien dan pemikiran tertentu yang berkembang menjadi apa yang dikenal dengan
ilmu. Pendekatan yang patut dipuji ini akhirnya melampaui arah yang sebenarnya
dengan pola penerapan yang begitu mendasar. Setelah revolusi “menyenangkan”,
pendekatan “ilmiah” itu cepat meluas sampai mempengaruhi setiap pemikiran.
Akhirnya segala sesuatu yang tidak bisa dimasukkan ke dalam ikatannya dikenal
dengan istilah “tidak ilmiah”, istilah sinonim lain dari kata “buruk”. Tanpa
disadari, kata-kata ini telah mengungkung dan otomatis memperbudak masyarakat.
Lantaran tidak adanya sikap sejalan, seperti orang
yang membuang waktu dan kemampuannya di ruang tunggu dengan membaca-baca
majalah, orang-orang pulau itu menyibukkan diri untuk menemukan pengganti
pemuasan diri sebagai tujuan asal (dan sesungguhnya tujuan akhir) dari
masyarakat yang terbuang ini.
Sebagian relatif mampu dan berhasil mengalihkan
perhatian pada komitmen-komitmen yang secara mendasar bersifat emosional. Ada
berbagai tingkatan emosi, namun tidak ada cara yang memadai untuk mengukurnya.
Setiap emosi dianggap sebagai suatu yang “dalam” dan “kuat” — pada tingkat apa
pun lebih kuat dari tingkat lainnya. Emosi yang dipandang bisa menggerakkan
masyarakat secara fisik dan mental sampai pada titik ekstrim, otomatis disebut
sebagai kekuatan “dalam”.
Sebagian besar masyarakat menentukan target bagi
dirinya sendiri atau membiarkan orang lain menentukannya sendiri.
Mereka mungkin mengejar suatu penghargaan, uang
atau status sosial. Sebagian menyembah sesuatu dan merasa dirinya lebih unggul
dari lainnya. Dengan menolak apa yang dianggap sebagai penyembahan, sebagian
orang mengira bahwa mereka tidak memiliki berhala. Karena itu mereka mencibir
setiap bentuk penyembahan.
Setelah berabad-abad lamanya, pulau itu dipenuhi
dengan berbagai kepingan cara pemujaan. Yang lebih buruk adalah
kepingan-kepingan ini ternyata mampu mempertahankan diri. Orang-orang yang
bermaksud baik dan bermaksud menggabungkan cara pemujaan ini serta memadukan
kepingan-kepingannya, ternyata menyebarkan suatu cara pemujaan baru. Bagi
kalangan amatir dan intelektual, hal ini adalah suatu tambang bagi kajian
akademis atau “bahan awal” yang menarik karena keanekaragamannya.
Fasilitas-fasilitas megah untuk memanjakan
“kepuasan” tertentu berkembang pesat. Istana dan monumen, museum dan
universitas, lembaga pendidikan, panggung teater, dan arena olah raga hampir
memenuhi pulau tersebut. Masyarakat biasanya merasa bangga dengan kemakmuran
ini. Biasanya kemakmuran ini dianggap sebagai kebenaran terakhir, meskipun tentu
saja kebenaran ini sama sekali luput dari perhatian mereka semua.
Pembangunan
kapal berkaitan dengan beberapa dimensi dari kegiatan itu, namun dengan cara
yang hampir tidak dikenal semua orang.
Secara
sembunyi-sembunyi, kapal-kapal memancangkan layar dan para perenang terus
mengajarkan cara berenang …
Berbagai kondisi
di pulau itu tidak sepenuhnya menimbulkan rasa takut bagi orang-orang yang
penuh pengabdian tersebut. Di atas
segalanya, mereka juga berasal dari masyarakat yang sama. Mereka mempunyai
ikatan yang tak terpisahkan dan nasib yang sama dengan pulau itu.
Namun mereka seringkali harus menjaga diri dari
perhatian saudara-saudaranya sesama penghuni pulau. Sebagian penghuni pulau
yang “normal” mencoba menyelamatkan diri dari situasi itu. Yang lain berusaha
membunuh mereka dengan alasan-alasan yang sulit dipahami. Sebagian bahkan
berusaha membantunya dengan penuh semangat, tetapi tidak bisa menemukan mereka.
Setiap reaksi terhadap eksistensi para perenang
ini adalah akibat dari sebab yang sama. Penyebabnya adalah karena sekarang
hampir tidak ada orang yang mengetahui apa sesungguhnya perenang itu, apa yang
dilakukannya, di mana ia bisa dijumpai?
Ketika kehidupan di pulau itu semakin beradab,
suatu industri aneh tetapi logis berkembang pesat. Industri ini dicurahkan
untuk menetapkan keraguan atas keabsahan sistem dasar kehidupan masyarakat.
Industri ini berhasil menimbulkan keraguan atas nilal-nilai sosial dengan
menertawakan atau menyindirnya. Aktivitas ini bisa mendatangkan kebahagiaan
atau kesengsaraan, tetapi ia sebenarnya semacam ritual yang diulang-ulang.
Sementara sebuah industri potensial dan berharga seringkali dirintangi untuk
melaksanakan fungsi kreatifnya yang nyata.
Setelah keraguan untuk mengungkapkan diri
sementara, masyarakat merasa bahwa dengan cara tertentu mereka akan mengurangi,
membuang dan melarutkan keraguan itu. Satire diterima sebagai kiasan bermakna.
Kiasan ini diterima namun tidak dipahami. Drama, buku, film, puisi dan plesetan
adalah media umum bagi perkembangan itu, meskipun ada sebuah bagian penting
yang termasuk dalam bidang-bidang yang lebih akademis. Bagi kebanyakan penghuni
pulau, hal ini lebih membebaskan, lebih modern atau lebih progresif
dibandingkan cara-cara pemujaan yang lebih tua.
Di sana-sini, seorang calon masih menemui seorang
instruktur renang dan menyampaikan penawaran untuk ikut belajar renang.
Biasanya penawaran itu berakhir pada pembicaraan khas berikut ini:
“Saya ingin belajar renang.”
“Apakah engkau ingin menawarkan diri untuk itu?”
“Tidak, hanya
saja saya harus membawa bekal seberat satu ton.”
“Bekal apa?”
“Makanan yang dibutuhkan di pulau lain.”
“Di sana ada makanan yang lebih baik.”
“Saya tidak mengerti apa yang engkau maksudkan. Saya
tidak yakin. Saya harus membawa bekal.”
“Engkau tidak
bisa berenang dengan membawa bekal satu ton di punggungmu.”
“Jika demikian saya tidak bisa pergi. Engkau
menyebutnya beban. Saya menyebutnya bekal makanan yang sangat penting.”
“Sebagai sebuah kiasan, andaikata kita tidak
menyebut ‘bekal makanan’, namun ‘asumsi’ atau ‘gagasan yang merusak’.”
“Saya akan membawa bekal ini kepada instruktur
yang memahami kebutuhan saya.”
Buku ini membicarakan tentang beberapa perenang dan
pembuat kapal serta beberapa orang yang berusaha mengikuti mereka dan relatif
berhasil. Dongeng ini belum berakhir, sebab masih ada masyarakat di pulau itu.
Para Sufi menggunakan berbagai simbol rahasia
untuk menyampaikan maksud mereka. Dengan menyusun kembali nama dari masyarakat
asal itu — El Ar — maka akan terbaca Real (Sejati). Mungkin Anda telah mengamati
bahwa nama yang digunakan oleh kalangan revolusioner itu — Please (Menyenangkan) — jika disusun kembali
akan membentuk kata Asleep (Tertidur).
Kisah ini dikutip dari buku “Mahkota Sufi: Menembus Dunia
Ekstra Dimensi“, olehIdries Shah. Penerbit Risalah Gusti, Cetakan
Pertama Shafar 1421H, Juni 2000.
Keadilan Dan Kelaliman
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk
mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang
sama:
“Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim.
Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang
kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.”
Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban
kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Nasrudin diundang. Ini
adalah perjumpaan resmi Nasrudin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk
kembali bertanya dengan angkuh :
“Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim.
Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang
kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.”
Dan dengan menenangkan diri, Nasrudin
menjawab :
“Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di
sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang
keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami.”
Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk
mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari
kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.
Sumber: media.isnet.org.
Orang yang Berjalan di Atas Air
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Seorang darwis yang
berpegang kepada kaidah, yang berasal dari mazhab yang saleh, pada suatu hari
berjalan menyusur tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada berbagai masalah
moral dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian pengajaran Sufi
dalam mazhabnya. Ia menyamakan agama, perasaan, dengan pencarian kebenaran
mutlak.Tiba-tiba renungannya terganggu oleh teriakan keras: Seseorang terdengar
mengulang-ulang suatu ungkapan darwis. Tak ada gunanya itu, katanya kepada diri
sendiri. Sebab orang itu telah salah mengucapkannya. Seharusnya diucapkannya yâ
hû, tapi ia mengucapkannya u yâ hû.
Kemudian ia menyadari bahwa sebagai darwis yang lebih teliti, ia
mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang itu. Mungkin orang itu tidak
pernah mempunyai kesempatan mendapat bimbingan yang baik, dan karenanya telah
berbuat sebaik-baiknya untuk menyesuaikan diri dengan gagasan yang ada di balik
suara yang diucapkannya itu.
Demikianlah darwis yang pertama itu menyewa perahu dan pergi ke
pulau di tengah-tengah arus sungai, tempat asal suara yang didengarnya tadi.
Didapatinya orang itu duduk di sebuah gubuk alang-alang,
bergerak-gerak sangat sukar teratur mengikuti ungkapan yang diucapkannya itu.
Sahabat, kata darwis pertama, Anda keliru mengucapkan ungkapan itu. Saya
berkewajiban memberitahukan hal ini kepada Anda, sebab ada pahala bagi orang
yang memberi dan menerima nasihat. Inilah ucapan yang benar. Lalu ia
memberitahukannya ucapan itu. Terimakasih, kata darwis yang lain itu dengan
rendah hati.
Darwis pertama turun ke perahunya lagi, sangat puas, sebab baru
saja berbuat amal. Bagaimana pun kalau orang boleh mengulang-ulang ungkapan
rahasia itu dengan benar, ada kemungkinan boleh berjalan di atas air. Hal itu
memang belum pernah disaksikannya sendiri, tetapi berdasarkan alasan tertentu-
darwis pertama itu ingin sekali boleh melakukannya. Kini ia tak mendengar lagi
suara gubuk alang-alang itu, tapi ia yakin bahwa nasihatnya telah dilaksanakan
sebaik-baiknya.
Kemudian didengarnya lagi ucapan u yâ hû yang keliru itu ketika
darwis yang di pulau tersebut mulai mengulang-ulang ucapannya…. Ketika darwis
pertama merenungkan hal itu, memikirkan betapa manusia memang suka bersikeras
mempertahankan kekeliruan, tiba-tiba disaksikannya pemandangan yang
menakjubkan. Dari arah pulau itu, darwis kedua tadi tampak menuju perahunya,
berjalan di atas air….
Karena takjubnya, ia pun berhenti
mendayung. Darwis kedua pun mendekatinya, katanya, Saudara, maaf saya
mengganggu Anda. Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk mengucapkan
ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi; sulit benar rasanya
mengingat-ingatnya
Sumber: syafii.wordpress.com
Kisah Romantika Pertaubatan Para Salik
Posted on 31 Oktober 2009 by Salik Paramartha
Kisah-kisah dalam buku ini merupakan cerita pertaubatan
dari orang-orang suci di masa silam. Sebuah perjalanan sakral dalam menempuh
hakikat menuju Tuhan yang tiada batas, namun aspek kemanusiaan inilah romantika
mereka dapat diketahui. Pahit manisnya perjalanan sekaligus sebagai tangga
untuk mencapai cinta-Nya, disertai pesan-pesan langit untuk penghuni bumi.
Orang-orang suci yang dikisahkan dalam buku
ini antara lain: Abdullah bin al-Mubarak, Abi Ishaq Ibrahim al-Khawwas, Abu
Bakar asy-Syibliy, Abu Bakar bin Faurak, Abu Muhammad at-Tustariy, Abu Thalib
al-Makkiy, Abu Umar al-Muthariz az-Zahid, Abu Yazid al-Busthamiy, Abul Abbas
bin Atha al-Adamiy, Abul Qasim al-Junaid, Abul Qasim al-Qusyairiy, Ahmad Husain
ar-Rifaiy, Ahmad an-Nauriy, Ahmad bin Muhammad, Al-Ghazali, Al-Hafizh Ibnu
Main, Al-Hallaj, Al-Mahdi Ibnu Tumart, Al-Muhasibi, At-Thurthusiy,
At-Turmudziy, Bisyir al-Hafi, Fudhail bin lyadh, Hasan al-Bashri, Hatim
al-Asham, Ibnu Arabi, Ibnu as-Sammak, Ibrahim bin Adham, Imam Ahmad bin Hanbal,
Jafar ashShadiq, Khair an-Nasaj, Malik bin Dinar, Maruf al-Karkhiy, Muhammad
al-Wasithiy, Musa al-Kadhim, Rabiah al-Adawiyah, Sari as-Saqathiy, Sufyan
ats-Tsauriy, Syaqiq al-Balkhiy, Yahya bin Muacfc al-Waidz, Yusuf bin Waharah
al-Hamdaniy.
Judul : Kisah Para Salik
Penulis : Ii Ruhimta
Jumlah Halaman : xiv + 320 Hal
ISBN : 979-98452-6-2
Penerbit: LKiS
Terbit : 2005
Penulis : Ii Ruhimta
Jumlah Halaman : xiv + 320 Hal
ISBN : 979-98452-6-2
Penerbit: LKiS
Terbit : 2005
Kisah Hafizh, Sang Penuang Cahaya
Posted
on 1
November 2009 by Salik
Paramartha
Inilah sepenggal kisah
Syamsuddin Muhammad (1320-1389), yang kemudian dikenal dengan nama Hafizh, sang
Pujangga Tuhan, penyair-sufi terkemuka. Dikisahkan
bahwa saat ia berusia 21 tahun, ia bekerja sebagai pembantu pembuat roti. Pada
suatu hari, Hafizh disuruh mengantar roti ke sebuah rumah besar. Saat ia sedang
berjalan di halaman rumah besar itu, ia bertatap-pandang dengan seorang gadis
yang menakjubkannya yang tengah berdiri di teras rumah. Tatap mata sang gadis
itu demikian menawan hatinya. Hafizh pun jatuh cinta kepada sang gadis itu,
meskipun sang gadis tidak mempedulikannya. Gadis itu putri seorang bangsawan
yang kaya raya, sementara ia sendiri hanya seorang pembantu pembuat roti yang
miskin. Gadis itu sangat cantik, sementara Hafizh berpostur pendek dan secara
fisik tidak menarik, keadaan itu tanpa harapan.
Beberapa bulan berlalu, Hafizh pun
menggubah beberapa puisi dan kidung-kidung cinta untuk merayakan kecantikan
sang gadis pujaan dan kerinduan kepadanya. Orang-orang mendengarkan ia
melagukan puisi-puisinya, dan ia mengulang-ulangnya. Puisi-puisi itu begitu
menyentuh, sehingga ia menjadi terkenal di seantero Syiraz.
Hafizh selanjutnya menjadi demikian terpandang sebagai seorang
pujangga, dan ia hanya memikirkan kekasihnya itu. Begitu berhasrat ia
memenangkan hati sang gadis, ia pun menempuh berbagai upaya. Ia pun melakukan
upaya disiplin ruhani yang berat, ia berkhalwat di makam seorang Waliyullah
sepanjang malam selama 40 hari. Ia mengikuti sebuah saran, bahwa barangsiapa
yang dapat menuntaskan langkah yang berat itu maka hasrat kalbunya akan
dikabulkan. Setiap siang ia bekerja di toko roti, dan ketika malam tiba ia pun
berkhalwat dan berdzikir sepanjang malam demi cintanya kepada sang gadis.
Cintanya demikian kuat, membuatnya mampu menyelesaikan khalwat itu.
Pada fajar di hari ke-40, tiba-tiba muncullah sesosok malaikat
di hadapan Hafizh, ia meminta Hafizh untuk mengucapakan apa yang menjadi
keinginannya. Hafizh demikian terperangah, ia belum pernah melihat sesosok
wujud yang demikian indah dan gemerlapan seperti sang malaikat itu. Dalam
keterpukauannya Hafizh berfikir, “Jika utusan-Nya saja begitu indah, pastilah
Tuhan jauh lebih indah!”
Sambil menatap cahaya malaikat Tuhan yang berkilauan, lupalah
Hafizh menyangkut segala hal tentang sang gadis itu, sirnalah segala
keinginanya. Dan, dari lisannya hanya keluar kata-kata:
“Aku menginginkan Tuhan!”
Sang malaikat, yakni Jibril as. kemudian
mengarahkan Hafizh kepada seorang guru ruhani yang hidup di Syiraz, yaitu
Muhammad Aththar, sang pembuat parfum. Jibril as. memerintahkan Hafizh untuk
melayani sang guru dengan segala cara, dan keinginanya itu akan terkabul.
Hafizh bergegas menemui sang guru, dan mereka memulai bekerja bersama-sama,
saat itu juga. Sang pujangga ini adalah seorang penuang Cahaya ke dalam sebuah
sendok …
Diadaptasi dari bagian biografi Hafizh,
buku “Hafizh: Aku Mendengar Tuhan Tertawa”, Daniel Ladinsky.
Zamzam, Bintaro, Jum’at, 9 Oktober 2009.
Kumpulan Kisah Sufi Aththar An-Nisaburi
Posted
on 13
November 2009 by Salik
Paramartha
Kisah-kisah sufistik
berikut ini, menurut Idries Shah, berasal dari Aththar An-Nisaburi. Ajaran-ajaran Aththar An-Nisaburibanyak disertai
gambaran-gambaran biografi, fabel, pepatah dan apologi, yang tidak hanya
mengandung ajaran moral tetapi kiasan-kiasan yang menggambarkan tentang
tahap-tahap khusus perkembangan manusia.
Aththar menggunakan
tema suatu ‘perjalanan’ atau ‘pencarian’ sebagai analogi dari tahap-tahap
keberhasilan jiwa manusia dalam mencari kesempurnaan.
JAWABAN YESUS
Beberapa orang Israel mencaci Yesus suatu
hari, ketika dia berjalan melintasi bagian kota mereka. Tetapi ia menjawab
dengan mengulang doa atas nama mereka.
Seseorang berkata kepadanya: “Engkau berdoa
untuk orang-orang ini, tidakkah engkau merasa marah kepada mereka?”
Ia menjawab: “Aku hanya dapat membelanjakan apa yang ada dalam dompetku.”
Ia menjawab: “Aku hanya dapat membelanjakan apa yang ada dalam dompetku.”
HATI
Seseorang menghampiri orang gila yang
sedang menangis dalam kesedihan yang memilukan.
Ia bertanya: “Mengapa engkau menangis?”
Orang gila menjawab: “Aku menangis untuk menarik belas kasihan hati-Nya.”
Yang lain berkata kepadanya: “Ucapanmu bohong, karena Dia tidak memiliki hati lahiriah.”
Orang gila menjawab: “Engkaulah yang salah, karena Dia pemilik seluruh hati yang ada. Melalui hati engkau dapat berhubungan dengan Tuhan.”
Ia bertanya: “Mengapa engkau menangis?”
Orang gila menjawab: “Aku menangis untuk menarik belas kasihan hati-Nya.”
Yang lain berkata kepadanya: “Ucapanmu bohong, karena Dia tidak memiliki hati lahiriah.”
Orang gila menjawab: “Engkaulah yang salah, karena Dia pemilik seluruh hati yang ada. Melalui hati engkau dapat berhubungan dengan Tuhan.”
DITAWARI DERMA YANG
TIDAK DAPAT DITERIMA
Apa! Akan kau berikan sejumlah uang
(Yang akan) menghapus namaku dari Daftar Kaum Darwis?
(Yang akan) menghapus namaku dari Daftar Kaum Darwis?
DONGENG FAZL-RABBI
Suatu hari seorang tua yang kikir pergi
menjeguk Fazl-Rabbi, untuk membahas beberapa hal.
Karena lemah dan gelisah, orang tua ini menusukkan tongkat besinya ke luka di kaki Fazl-Rabbi.
Mendengar dengan sopan, apa pun yang dikatakan oleh si orang tua, Fazl-Rabbi tidak berkata-kata, kendati ia menjadi pucat dan kemudian memerah, karena lukanya terasa sakit dan besi tersebut tetap menancap di kakinya.
Kemudian, ketika yang lainnya telah menyelesaikan urusannya, ia mengambil selembar kertas darinya dan menandatanganinya.
Ketika orang tua itu sudah pergi, ia senang karena berhasil dalam ketekunannya, Fazl-Rabbi membiarkan dirinya roboh.
Salah seorang bangsawan yang hadir mengatakan:
“Tuanku, Anda duduk di sana dengan darah mengucur dari kaki Anda, dan orang tua itu menusuknya dengan tongkat besinya, dan Anda sama sekali tidak berkata apa pun.”
Fazl-Rabbi menjawab:
“Aku sama sekali tidak memberi tanda kesakitan, karena Aku takut kalau ketakutannya mungkin menyebabkan ia bingung, dan bahwa ia mungkin menyerahkan ketekunannya karena bantuanku. Kasihan sekali dia, bagaimana aku dapat menambah masalahnya dengan cara demikian?”
Jadilah manusia sejati: mempelajari kebangsawanan dari pemikiran dan tindakan, seperti Fazl-Rabbi.
Karena lemah dan gelisah, orang tua ini menusukkan tongkat besinya ke luka di kaki Fazl-Rabbi.
Mendengar dengan sopan, apa pun yang dikatakan oleh si orang tua, Fazl-Rabbi tidak berkata-kata, kendati ia menjadi pucat dan kemudian memerah, karena lukanya terasa sakit dan besi tersebut tetap menancap di kakinya.
Kemudian, ketika yang lainnya telah menyelesaikan urusannya, ia mengambil selembar kertas darinya dan menandatanganinya.
Ketika orang tua itu sudah pergi, ia senang karena berhasil dalam ketekunannya, Fazl-Rabbi membiarkan dirinya roboh.
Salah seorang bangsawan yang hadir mengatakan:
“Tuanku, Anda duduk di sana dengan darah mengucur dari kaki Anda, dan orang tua itu menusuknya dengan tongkat besinya, dan Anda sama sekali tidak berkata apa pun.”
Fazl-Rabbi menjawab:
“Aku sama sekali tidak memberi tanda kesakitan, karena Aku takut kalau ketakutannya mungkin menyebabkan ia bingung, dan bahwa ia mungkin menyerahkan ketekunannya karena bantuanku. Kasihan sekali dia, bagaimana aku dapat menambah masalahnya dengan cara demikian?”
Jadilah manusia sejati: mempelajari kebangsawanan dari pemikiran dan tindakan, seperti Fazl-Rabbi.
BUDAK TANPA MAJIKAN
Berkelana dengan jubah tambalan, wajahnya
menghitam karena matahari, seorang darwis tiba di Kufah, di mana ia berjumpa
dengan seorang pedagang.
Si pedagang berbicara kepadanya, dan memutuskan bahwa ia pasti seorang budak yang tersesat.
“Karena tindak-tandukmu halus, Aku akan memanggilmu Khair (bagus).” Katanya, “Engkau bukan budak?”
“Itulah saya,” jawab Khair.
“Akan kuantar engkau pulang, dan engkau dapat bekerja untukku sampai berjumpa tuanmu.”
“Saya senang sekali,” ujar Khair, “Karena sudah sangat lama saya mencari tuan saya.”
Ia bekerja beberapa tahun pada orang tersebut, yang mengajarinya menjadi penenun; oleh sebab itu nama keduanya adalah Nassaj (penenun).
Setelah layanannya yang lama, merasa bersalah karena terlalu mengeksploitasinya, pedagang tersebut mengatakan, “Aku tidak tahu siapa dirimu, tetapi sekarang engkau bebas untuk pergi.”
Khair Nassaj, Guru Agung Tarekat (Sufi), melanjutkan perjalanannya ke Mekkah tanpa penyesalan karena ia telah menemukan bagaimana melanjutkan perkembangannya, daripada tanpa memiliki nama dan diperlakukan seperti budak.
Ia adalah guru asy-Syibli, Ibrahim Khawwas dan juga Guru Agung kaum Sufi. Ia meninggal lebih dari seribu tahun yang lalu, di usia seratus duapuluh.
Si pedagang berbicara kepadanya, dan memutuskan bahwa ia pasti seorang budak yang tersesat.
“Karena tindak-tandukmu halus, Aku akan memanggilmu Khair (bagus).” Katanya, “Engkau bukan budak?”
“Itulah saya,” jawab Khair.
“Akan kuantar engkau pulang, dan engkau dapat bekerja untukku sampai berjumpa tuanmu.”
“Saya senang sekali,” ujar Khair, “Karena sudah sangat lama saya mencari tuan saya.”
Ia bekerja beberapa tahun pada orang tersebut, yang mengajarinya menjadi penenun; oleh sebab itu nama keduanya adalah Nassaj (penenun).
Setelah layanannya yang lama, merasa bersalah karena terlalu mengeksploitasinya, pedagang tersebut mengatakan, “Aku tidak tahu siapa dirimu, tetapi sekarang engkau bebas untuk pergi.”
Khair Nassaj, Guru Agung Tarekat (Sufi), melanjutkan perjalanannya ke Mekkah tanpa penyesalan karena ia telah menemukan bagaimana melanjutkan perkembangannya, daripada tanpa memiliki nama dan diperlakukan seperti budak.
Ia adalah guru asy-Syibli, Ibrahim Khawwas dan juga Guru Agung kaum Sufi. Ia meninggal lebih dari seribu tahun yang lalu, di usia seratus duapuluh.
KOTAK AJAIB
Suatu ketika seorang laki-laki ingin
menjual karpet kasar, dan ia pun menawarkannya di jalan.
Orang pertama yang melihat mengatakan:
“Ini karpet yang kasar, dan sangat usang.” Maka ia pun membelinya sangat murah. Kemudian pembeli tersebut berdiri dan mengatakan kepada lainnya yang tengah berjalan:
“Karpet ini lembut bagai sutra, tak ada yang seperti ini.”
Seorang Sufi yang melintas mendengar orang yang membeli itu dan berusaha menjual barang yang sama dengan dua gambaran yang berbeda.
Sang Sufi berkata kepada si penjual karpet:
“Wahai penjual karpet, masukkan aku dalam kotak ajaibmu, yang dapat mengubah karpet kasar menjadi halus, barangkali bisa mendatangkan permata!”
Orang pertama yang melihat mengatakan:
“Ini karpet yang kasar, dan sangat usang.” Maka ia pun membelinya sangat murah. Kemudian pembeli tersebut berdiri dan mengatakan kepada lainnya yang tengah berjalan:
“Karpet ini lembut bagai sutra, tak ada yang seperti ini.”
Seorang Sufi yang melintas mendengar orang yang membeli itu dan berusaha menjual barang yang sama dengan dua gambaran yang berbeda.
Sang Sufi berkata kepada si penjual karpet:
“Wahai penjual karpet, masukkan aku dalam kotak ajaibmu, yang dapat mengubah karpet kasar menjadi halus, barangkali bisa mendatangkan permata!”
BULAN
Sang Bulan ditanya:
‘Apa hasratmu yang paling kuat?”
Dijawab:
“Kalau Matahari hendak menghilang, dan tetap terselubung dalam awan selamanya.”
‘Apa hasratmu yang paling kuat?”
Dijawab:
“Kalau Matahari hendak menghilang, dan tetap terselubung dalam awan selamanya.”
LIMARATUS KEPING EMAS
Salah seorang pengikut Junaid mengunjunginya dengan dompet
berisi limaratus keping emas.
“Apakah engkau memiliki uang lebih dari ini?” tanya sang Sufi. “Ya, saya punya.”
“Apakah engkau ingin lebih banyak?”
“Ya, benar.”
“Maka engkau harus menyimpannya, karena engkau lebih membutuhkannya daripada aku; karena aku tidak memiliki apa pun dan tidak menginginkan apa pun. Engkau membutuhkannya dan selamanya ingin lebih banyak.”
“Apakah engkau memiliki uang lebih dari ini?” tanya sang Sufi. “Ya, saya punya.”
“Apakah engkau ingin lebih banyak?”
“Ya, benar.”
“Maka engkau harus menyimpannya, karena engkau lebih membutuhkannya daripada aku; karena aku tidak memiliki apa pun dan tidak menginginkan apa pun. Engkau membutuhkannya dan selamanya ingin lebih banyak.”
ORANG GILA DAN MUADZIN
Seorang muadzin mendaki puncak menara dan
mengumandangkan adzan. Sementara itu, seorang gila melintas dan seseorang
bertanya kepadanya:
“Apa yang dilakukannya di sana, di atas menara?”
Si gila menjawab:
“Orang di atas itu sesungguhnya mengocok kulit kacang yang kosong.”
Ketika engkau mengucapkan sembilanpuluh sembilan Nama Allah, maka engkau seperti bermain dengan kulit kacang yang kosong. Bagaimana Tuhan dapat dimengerti melalui nama-nama?
Karena engkau tidak dapat mengucapkan dalam kata-kata ‘mengenai hakikat Tuhan, paling baik tidak usah bicara tentang siapa pun sama sekali.
(Kitab-Ilahi)
“Apa yang dilakukannya di sana, di atas menara?”
Si gila menjawab:
“Orang di atas itu sesungguhnya mengocok kulit kacang yang kosong.”
Ketika engkau mengucapkan sembilanpuluh sembilan Nama Allah, maka engkau seperti bermain dengan kulit kacang yang kosong. Bagaimana Tuhan dapat dimengerti melalui nama-nama?
Karena engkau tidak dapat mengucapkan dalam kata-kata ‘mengenai hakikat Tuhan, paling baik tidak usah bicara tentang siapa pun sama sekali.
(Kitab-Ilahi)
KERANGKA RELIGIUS
Suatu hari ketika Sahabat Umar ra. melihat
dari permulaan hingga habis sebuah kitab suci Yahudi, Nabi Muhammad saw
bersabda:
“Engkau terlalu sederhana dengan kitab itu.
Jika ingin mendapat suatu manfaat darinya, engkau harus menjadi seorang Yahudi.
Menjadi seorang Yahudi yang sempurna lebih baik daripada Muslim yang tidak
sempurna; dan membuang-buang waktu dengan kitab Yahudi adalah kepalang tanggung
dan tidak memberimu manfaat dengan satu cara atau cara yang lain.
Kesalahanmu adalah bahwa engkau tidak melakukan sesuatu atau pun lainnya dalam sikap ini. Engkau tidak yakin, sangsi pun engkau juga tidak. Lalu, Bagaimana keadaanmu ini, Bagaimana dapat digambarkan?”
Kesalahanmu adalah bahwa engkau tidak melakukan sesuatu atau pun lainnya dalam sikap ini. Engkau tidak yakin, sangsi pun engkau juga tidak. Lalu, Bagaimana keadaanmu ini, Bagaimana dapat digambarkan?”
(Kitab-Ilahi)
KISAH NABI MUSA A.S.
Suatu ketika Musa a.s. memohon kepada Allah
swt. untuk menunjukkan kepadanya salah satu sahabat Allah, dan sebuah suara
menjawab:
“Pergilah ke sebuah lembah dan di sana
engkau akan menjumpai seorang yang dicintai, orang terpilih, yang menempuh
Jalan (pencapaian)!”
Musa pun pergi dan menjumpai orang
tersebut, berpakaian compang-camping, dikerubuti berbagai serangga dan binatang
melata lainnya.
Musa bertanya, “Dapatkah aku membantumu?”
Laki-laki tersebut menjawab, “Utusan Allah, bawakanlah aku secangkir air, karena sangat haus!”
Ketika Musa kembali dengan membawa air, ia menemukan laki-laki tersebut terkapar sekarat. Ia pergi mencari potongan baju untuk membalutnya. Ketika kembali, ia justru melihat tubuh laki-laki tersebut dilahap seekor singa padang pasir.
Musa sangat tertekan dan menangis:
Musa bertanya, “Dapatkah aku membantumu?”
Laki-laki tersebut menjawab, “Utusan Allah, bawakanlah aku secangkir air, karena sangat haus!”
Ketika Musa kembali dengan membawa air, ia menemukan laki-laki tersebut terkapar sekarat. Ia pergi mencari potongan baju untuk membalutnya. Ketika kembali, ia justru melihat tubuh laki-laki tersebut dilahap seekor singa padang pasir.
Musa sangat tertekan dan menangis:
“Engkau Yang Mahaperkasa dan Maha
Mengetahui, Yang mengubah lumpur menjadi manusia. Sebagian menjadi penghuni
Surga, lainnya harus disiksa, satu bahagia yang lain menderita. Ini lawan asas
yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun.”
Kemudian muncul suara dari dalam diri Musa:
“Orang ini telah bergantung kepada Kami
untuk minum dan kemudian berpaling dari kepercayaan itu. Ia bergantung kepada
Musa untuk makanannya, percaya pada perantara. Ia telah bersalah karena meminta
bantuan dari yang lain setelah puas dengan Kami …”
Hatimu senantiasa melekat sendiri dan makin
melekat lagi pada keinginan. Engkau harus tahu bagaimana menjaga hubungan
dengan asal-usulmu …
(Ilahi-Nama)
RUH SEBELUM PENCIPTAAN
TUBUH
Ketahuilah mengenai waktu ketika di sana
ada ruh dan tanpa tubuh.
Inilah masa selama beberapa tahun, yang setiap tahunnya sama dengan seribu tahun kita.
Ruh-ruh tersebut berbaris. Dunia diperlihatkan kepada mereka. Sembilan dari sepuluh ruh berlari menuju dunia.
Kemudian Surga diperlihatkan pada ruh yang tersisa. Sembilan dari sepuluh ruh berlari menuju Surga.
Kemudian Neraka diperlihatkan kepada ruh yang tersisa. Sembilan dari sepuluh ruh berlari menghindarinya dengan ketakutan.
Maka tinggallah beberapa ruh, mereka yang tidak terpengaruh oleh apa pun. Mereka tidak tertarik pada Dunia maupun Surga, juga tidak takut Neraka.
Sebuah Suara Semesta berkata pada ruh-ruh yang tinggal tersebut:
“Wahai ruh-ruh bodoh, apa yang kalian inginkan?”
Secara serempak mereka menjawab:
“Engkau mengetahui segala pengetahuan, bahwa Engkau-lah Yang kami inginkan, dan bahwa kami tidak ingin meninggalkan KehadiranMu.”
Suara itu berkata:
“Menginginkan Kami penuh bahaya, menimbulkan kesulitan dan akibat yang tidak terhitung.”
Ruh-ruh menjawab:
“Dengan senang hati akan kami alami apa pun untuk bersama-Mu, dan kehilangan apa pun agar kami mendapatkan segalanya.”
Inilah masa selama beberapa tahun, yang setiap tahunnya sama dengan seribu tahun kita.
Ruh-ruh tersebut berbaris. Dunia diperlihatkan kepada mereka. Sembilan dari sepuluh ruh berlari menuju dunia.
Kemudian Surga diperlihatkan pada ruh yang tersisa. Sembilan dari sepuluh ruh berlari menuju Surga.
Kemudian Neraka diperlihatkan kepada ruh yang tersisa. Sembilan dari sepuluh ruh berlari menghindarinya dengan ketakutan.
Maka tinggallah beberapa ruh, mereka yang tidak terpengaruh oleh apa pun. Mereka tidak tertarik pada Dunia maupun Surga, juga tidak takut Neraka.
Sebuah Suara Semesta berkata pada ruh-ruh yang tinggal tersebut:
“Wahai ruh-ruh bodoh, apa yang kalian inginkan?”
Secara serempak mereka menjawab:
“Engkau mengetahui segala pengetahuan, bahwa Engkau-lah Yang kami inginkan, dan bahwa kami tidak ingin meninggalkan KehadiranMu.”
Suara itu berkata:
“Menginginkan Kami penuh bahaya, menimbulkan kesulitan dan akibat yang tidak terhitung.”
Ruh-ruh menjawab:
“Dengan senang hati akan kami alami apa pun untuk bersama-Mu, dan kehilangan apa pun agar kami mendapatkan segalanya.”
(Ilahi-Nama)
UJIAN
Berkait dengan ucapan Syaqiq al-Balkh
kepada murid-muridnya:
“Kupertaruhkan Imanku kepada Allah, dan pergi mengarungi hutan ganas dengan uang sekadarnya di saku. Aku pergi haji dan pulang, dan uang receh ini masih ada.”
Salah seorang muridnya berdiri dan berkata:
“Jika Anda memiliki uang receh di saku, Bagaimana Anda dapat mengatakan, bahwa Anda menggantungkan segala sesuatu kepada yang lebih Tinggi?”
Syaqiq menjawab:
“Tidak ada lagi yang dapat kukatakan, anak muda ini benar. Ketika engkau menggantungkan segala sesuatu kepada-Nya, maka tidak ada tempat lagi untuk apa pun, sekecil apa pun, sebagai suatu perbekalan!”
“Kupertaruhkan Imanku kepada Allah, dan pergi mengarungi hutan ganas dengan uang sekadarnya di saku. Aku pergi haji dan pulang, dan uang receh ini masih ada.”
Salah seorang muridnya berdiri dan berkata:
“Jika Anda memiliki uang receh di saku, Bagaimana Anda dapat mengatakan, bahwa Anda menggantungkan segala sesuatu kepada yang lebih Tinggi?”
Syaqiq menjawab:
“Tidak ada lagi yang dapat kukatakan, anak muda ini benar. Ketika engkau menggantungkan segala sesuatu kepada-Nya, maka tidak ada tempat lagi untuk apa pun, sekecil apa pun, sebagai suatu perbekalan!”
(Kitab-Ilahi)
MUHAMMAD, IBNU ISA
Muhammad, ibnu Isa, salah seorang sahabat
Pemimpin Ummat, karena kecerdasannya melebihi yang lain.
Suatu hari ia berkuda melintasi jalanan di Baghdad, diiringi pelayan dalam jumlah cukup banyak. Orang-orang pun saling bertanya:
“Siapa laki-laki itu, begitu mempesona, kudanya bagus, begitu kaya?”
Dan seorang perempuan tua yang berjalan tertatih diantara mereka menjawab:
“Itu orang miskin, bukan orang kaya. Karena, jika Allah meniadakan kesenangannya, ia tidak akan memiliki benda seperti sekarang.”
Mendengar ini, Muhammad ibnu Isa, turun dari kudanya yang sehat dan bagus, dan mengakui bahwa memang begitulah keadaannya.
Sejak saat itu ia meninggalkan keinginannya untuk memamerkan kekayaannya.
Suatu hari ia berkuda melintasi jalanan di Baghdad, diiringi pelayan dalam jumlah cukup banyak. Orang-orang pun saling bertanya:
“Siapa laki-laki itu, begitu mempesona, kudanya bagus, begitu kaya?”
Dan seorang perempuan tua yang berjalan tertatih diantara mereka menjawab:
“Itu orang miskin, bukan orang kaya. Karena, jika Allah meniadakan kesenangannya, ia tidak akan memiliki benda seperti sekarang.”
Mendengar ini, Muhammad ibnu Isa, turun dari kudanya yang sehat dan bagus, dan mengakui bahwa memang begitulah keadaannya.
Sejak saat itu ia meninggalkan keinginannya untuk memamerkan kekayaannya.
PEMAHAMAN ORANG GILA
Terdapat orang gila yang tidak ikut ambil
bagian dalam jamaah shalat. Di hari Jum’at, dengan penuh kesulitan, orang-orang
membujuknya untuk hadir.
Tetapi ketika sang Imam memulai, orang gila tersebut justru melenguh seperti lembu jantan.
Orang-orang menyangka bahwa ia hanya sedang kambuh lagi gilanya, tetapi pada saat yang sama ingin membantunya. Sesudah shalat mereka menegurnya:
“Apakah engkau tidak berpikir tentang Allah, engkau bersuara seperti seekor binatang di tengah-tengah shalat jamaah?”
Si orang gila menjawab:
“Aku hanya melakukan apa yang dikerjakan Imam. Ketika ia telah menekankan, ia membeli seekor lembu, maka aku pun bersuara seperti seekor lembu!”
Ketika jawaban aneh ini disampaikan kepada sang Imam, ia mengakui:
“Ketika aku menyebut Allahu Akbar, aku sedang memikirkan pertanianku. Dan ketika sampai pada alhamdulillah, aku berpikir bahwa aku akan membeli seekor lembu. Pada saat itulah aku mendengar suara lenguhan.”
Tetapi ketika sang Imam memulai, orang gila tersebut justru melenguh seperti lembu jantan.
Orang-orang menyangka bahwa ia hanya sedang kambuh lagi gilanya, tetapi pada saat yang sama ingin membantunya. Sesudah shalat mereka menegurnya:
“Apakah engkau tidak berpikir tentang Allah, engkau bersuara seperti seekor binatang di tengah-tengah shalat jamaah?”
Si orang gila menjawab:
“Aku hanya melakukan apa yang dikerjakan Imam. Ketika ia telah menekankan, ia membeli seekor lembu, maka aku pun bersuara seperti seekor lembu!”
Ketika jawaban aneh ini disampaikan kepada sang Imam, ia mengakui:
“Ketika aku menyebut Allahu Akbar, aku sedang memikirkan pertanianku. Dan ketika sampai pada alhamdulillah, aku berpikir bahwa aku akan membeli seekor lembu. Pada saat itulah aku mendengar suara lenguhan.”
SI KIKIR DAN MALAIKAT
MAUT
Setelah bekerja keras, berdagang dan
meminjamkan (uang) si kikir telah menumpuk harta, tigaratus ribu dinar. Ia
memiliki tanah luas dan banyak gedung, dan segala macam harta benda.
Kemudian ia memutuskan untuk beristirahat selama satu tahun, hidup nyaman, dan kemudian menentukan mengenai bagaimana masa depannya. Tetapi, segera setelah ia berhenti mengumpulkan uang, ketika itu juga muncul Malaikat Maut di hadapannya untuk mencabut nyawanya.
Si kikir pun berusaha dengan segala daya upaya, agar Malaikat Maut yang pantang menyerah itu, tidak jadi menjalankan tugasnya. Ia berkata:
“Bantulah aku, hanya tiga hari saja, dan akan kuberikan sepertiga hartaku.”
Malaikat Maut menolak, dan mulai menarik nyawa si kikir. Kemudian si kikir berkata lagi:
“Jika engkau membolehkan aku tinggal dua hari lagi, akan kuberi engkau duaratus ribu dinar dari gudangku.”
Tetapi sang Malaikat Maut tidak mau mendengarkannya. Bahkan ia menolak memberi tambahan tiga hari demi tigaratus ribu dinarnya. Kemudian si kikir berkata:
“Tolonglah, kalau begitu beri aku waktu untuk menulis sebentar.”
Kali ini Malaikat Maut mengizinkannya, dan si kikir menulis dengan darahnya sendiri.
“Wahai manusia, manfaatkan hidupmu. Aku tidak dapat membelinya dengan tigaratus ribu dinar. Pastikan bahwa engkau menyadari nilai dari waktu yang engkau miliki.”
Kemudian ia memutuskan untuk beristirahat selama satu tahun, hidup nyaman, dan kemudian menentukan mengenai bagaimana masa depannya. Tetapi, segera setelah ia berhenti mengumpulkan uang, ketika itu juga muncul Malaikat Maut di hadapannya untuk mencabut nyawanya.
Si kikir pun berusaha dengan segala daya upaya, agar Malaikat Maut yang pantang menyerah itu, tidak jadi menjalankan tugasnya. Ia berkata:
“Bantulah aku, hanya tiga hari saja, dan akan kuberikan sepertiga hartaku.”
Malaikat Maut menolak, dan mulai menarik nyawa si kikir. Kemudian si kikir berkata lagi:
“Jika engkau membolehkan aku tinggal dua hari lagi, akan kuberi engkau duaratus ribu dinar dari gudangku.”
Tetapi sang Malaikat Maut tidak mau mendengarkannya. Bahkan ia menolak memberi tambahan tiga hari demi tigaratus ribu dinarnya. Kemudian si kikir berkata:
“Tolonglah, kalau begitu beri aku waktu untuk menulis sebentar.”
Kali ini Malaikat Maut mengizinkannya, dan si kikir menulis dengan darahnya sendiri.
“Wahai manusia, manfaatkan hidupmu. Aku tidak dapat membelinya dengan tigaratus ribu dinar. Pastikan bahwa engkau menyadari nilai dari waktu yang engkau miliki.”
KEPALA KELEDAI
Seorang bodoh melihat kepala keledai di
atas sebatang kayu di halaman.
Ia bertanya, “Apa yang terjadi di sana?”
Ada yang menjawab, “Diletakkan di sana untuk memalingkan mata iblis!”
“Engkau ini berotak keledai, dan itulah mengapa engkau menggantungkan kepala keledai! Ketika hidupnya, ia tidak dapat menghindari batang kayu yang memukulnya. Sekarang, ketika mati, bagaimana dapat menolak mata iblis?”
Ia bertanya, “Apa yang terjadi di sana?”
Ada yang menjawab, “Diletakkan di sana untuk memalingkan mata iblis!”
“Engkau ini berotak keledai, dan itulah mengapa engkau menggantungkan kepala keledai! Ketika hidupnya, ia tidak dapat menghindari batang kayu yang memukulnya. Sekarang, ketika mati, bagaimana dapat menolak mata iblis?”
KEMUSTAHILAN DAN
KEBODOHAN
Apa yang tampak mustahil dan tidak, adalah
lebih baik daripada kebodohan manusia yang menganggapnya mustahil.
CAHAYA
Pecinta (kekasih) sejati akan menemukan
cahaya hanya jika, seperti lilin, dirinya adalah bahan bakar, membakar dirinya
sendiri.
UMMAT KRISTEN DAN
MUSLIM
Suatu ketika, seorang Kristen menjadi
Muslim. Keesokannya ia telah mulai minum anggur.
Dalam keadaan mabuk, ibunya datang dan berkata:
“Anakku, apa yang engkau kerjakan? Bertingkah dalam cara seperti ini engkau telah menolak Yesus, dan juga gagal menyenangkan Muhammad. Tetaplah berpijak pada keyakinanmu! Tidak seorang pun dapat menjadi manusia dan menyembah berhala sama baik mempertahankan keyakinan lain.”
Dalam keadaan mabuk, ibunya datang dan berkata:
“Anakku, apa yang engkau kerjakan? Bertingkah dalam cara seperti ini engkau telah menolak Yesus, dan juga gagal menyenangkan Muhammad. Tetaplah berpijak pada keyakinanmu! Tidak seorang pun dapat menjadi manusia dan menyembah berhala sama baik mempertahankan keyakinan lain.”
POHON TIDAK MENYADARI
AKAN KEADAANNYA
Suatu hari seorang laki-laki menebang
pohon. Seorang Sufi yang melihatnya, mendekat dan berkata:
“Lihatlah cabangnya yang segar ini, penuh dengan getah, bahagia karena ia belum tahu kalau dipotong.”
“Barangkali memang tidak diketahui kerusakan akan membuatnya menderita, tetapi akan mengetahui pada waktunya.”
“Sementara itu, engkau tidak dapat menalarnya.”
Pemotongan ini, ketidaktahuan ini, inilah keadaan manusia.
“Lihatlah cabangnya yang segar ini, penuh dengan getah, bahagia karena ia belum tahu kalau dipotong.”
“Barangkali memang tidak diketahui kerusakan akan membuatnya menderita, tetapi akan mengetahui pada waktunya.”
“Sementara itu, engkau tidak dapat menalarnya.”
Pemotongan ini, ketidaktahuan ini, inilah keadaan manusia.
ANAK PANAH
Ketika anak panah lepas dari busurnya,
mungkin melesat lurus, mungkin pula tidak, sesuai kehendak pemanahnya. Betapa
aneh, bahwa ketika anak panah melesat tanpa melenceng, tergantung pada keahlian
pemanah: tetapi jika keluar dari kebenaran, merupakan anak panah yang menerima
perintah keliru!
RAJA MAHMUD DAN BUNCIS
Suatu hari, Raja Mahmud yang perkasa dari
Ghazna pergi berburu, ia terpisah dari kelompoknya. Ia kemudian mendatangi asap
yang berasal dari sebuah api kecil, di mana ia juga menemukan perempuan tua
dengan belanganya.
Raja Mahmud berkata:
“Hari ini engkau mendapat tamu seorang raja, apa yang engkau masak di atas apimu?”
Perempuan tua itu menjawab, “Ini rebusan buncis.”
Raja Mahmud bertanya, “Wahai perempuan tua, maukah engkau memberiku sedikit?”
“Tidak,” jawab perempuan itu, “Karena ini hanya untukku. Kerajaanmu tidak berharga sebagaimana buncis-buncis ini. Engkau boleh saja menginginkan buncisku, tetapi aku tidak menginginkan apa pun yang engkau miliki. Buncis-buncisku bernilai seratus kali lipat daripada semua milikmu. Lihat musuh-musuhmu, yang berusaha mengambil alih milikmu. Aku bebas, dan memiliki kacang buncisku.”
Mahmud yang perkasa memandang pemilik kacang tersebut, memikirkan kekuasaannya yang dipersengketakan, dan menangis.
Raja Mahmud berkata:
“Hari ini engkau mendapat tamu seorang raja, apa yang engkau masak di atas apimu?”
Perempuan tua itu menjawab, “Ini rebusan buncis.”
Raja Mahmud bertanya, “Wahai perempuan tua, maukah engkau memberiku sedikit?”
“Tidak,” jawab perempuan itu, “Karena ini hanya untukku. Kerajaanmu tidak berharga sebagaimana buncis-buncis ini. Engkau boleh saja menginginkan buncisku, tetapi aku tidak menginginkan apa pun yang engkau miliki. Buncis-buncisku bernilai seratus kali lipat daripada semua milikmu. Lihat musuh-musuhmu, yang berusaha mengambil alih milikmu. Aku bebas, dan memiliki kacang buncisku.”
Mahmud yang perkasa memandang pemilik kacang tersebut, memikirkan kekuasaannya yang dipersengketakan, dan menangis.
KETIDAKSADARAN
Engkau tidak tahu apa pun tentang dirimu
sendiri dan bagaimana keadaannya.
Dirimu seperti lilin dalam sarang lebah: apa yang diketahui, apa yang diketahui, api ataukah selokan?
Ketika terpasang di tempat lilin, dan cahayanya terpancar, barulah diketahui.
Sama saja, engkau akan mengetahui dirimu hidup ketika engkau mati, dan hanya berpikir dirimu hidup.
Dirimu seperti lilin dalam sarang lebah: apa yang diketahui, apa yang diketahui, api ataukah selokan?
Ketika terpasang di tempat lilin, dan cahayanya terpancar, barulah diketahui.
Sama saja, engkau akan mengetahui dirimu hidup ketika engkau mati, dan hanya berpikir dirimu hidup.
ORANG GILA DAN PEGULAT
Seorang gila setengah mabuk memanggil
pembawa peti mati setelah pemakaman.
“Siapa orang yang jatuh dalam cengkeraman kematian ini?”
Mereka menjawab, “Hai orang gila, ini jasad juara gulat, pemuda terbaik selama hidupnya.”
Si orang gila menjawab, “Ia mati oleh lawan yang perkasa, tak diketahui kalau hal itu akan terjadi padanya.”
“Siapa orang yang jatuh dalam cengkeraman kematian ini?”
Mereka menjawab, “Hai orang gila, ini jasad juara gulat, pemuda terbaik selama hidupnya.”
Si orang gila menjawab, “Ia mati oleh lawan yang perkasa, tak diketahui kalau hal itu akan terjadi padanya.”
DUA CINCIN
Seorang laki-laki mencintai dua perempuan
dengan adil. Mereka berdua memintanya mengatakan siapa diantara mereka yang
paling disukai.
Laki-laki tersebut minta waktu sampai keputusannya diketahui. Kemudian ia membuat dua cincin, masing-masing sangat mirip. Lalu ia memanggil keduanya dan mengatakan, “Orang yang paling kucintai, dialah yang mengenakan cincin ini.”
Laki-laki tersebut minta waktu sampai keputusannya diketahui. Kemudian ia membuat dua cincin, masing-masing sangat mirip. Lalu ia memanggil keduanya dan mengatakan, “Orang yang paling kucintai, dialah yang mengenakan cincin ini.”
INI, JUGA, AKAN
BERLALU
Seorang raja yang sangat berkuasa,
memerintah banyak wilayah, berada dalam posisi cemerlang lantaran orang-orang
bijak yang dipekerjakannya. Suatu hari ia merasa bingung sendiri dan memanggil
penasihatnya.
Katanya, “Aku tidak tahu sebabnya, tetapi sesuatu mendorongku untuk mencari cincin yang memungkinkan diriku menjadikan negara yang tenteram. Aku harus memiliki cincin itu. Dan cincin ini harus dapat membuatku bahagia di kala duka. Pada saat yang sama, jika aku merasa bahagia dan melihatnya, maka cicin itu dapat menjadikanku sedih.”
Orang-orang bijak saling berunding, dan mereka berada dalam perenungan yang amat dalam. Akhirnya mereka memutuskan sifat-sifat cincin yang sesuai dengan raja mereka. Cincin yang dirancang itu, bertuliskan sebuah legenda: Ini, juga, Akan Berlalu.
Katanya, “Aku tidak tahu sebabnya, tetapi sesuatu mendorongku untuk mencari cincin yang memungkinkan diriku menjadikan negara yang tenteram. Aku harus memiliki cincin itu. Dan cincin ini harus dapat membuatku bahagia di kala duka. Pada saat yang sama, jika aku merasa bahagia dan melihatnya, maka cicin itu dapat menjadikanku sedih.”
Orang-orang bijak saling berunding, dan mereka berada dalam perenungan yang amat dalam. Akhirnya mereka memutuskan sifat-sifat cincin yang sesuai dengan raja mereka. Cincin yang dirancang itu, bertuliskan sebuah legenda: Ini, juga, Akan Berlalu.
RAJA YANG MERAMALKAN MASA DEPANNYA
Seorang raja yang juga ahli perbintangan meramal bintangnya,
bahwa pada hari dan jam tertentu malapetaka akan mendekatinya.
Ia kemudian membangun rumah batu yang kuat, dan menempatkan beberapa penjaga di luar.
Suatu hari, ketika berada di dalamnya, ia sadar bahwa masih dapat melihat cahaya (siang). Ia menemukan lubang yang kemudian ditutupnya pula, untuk mencegah kemalangan masuk. Dengan menutup pintu, menjadikan dirinya sendiri tawanan dengan kedua tangannya sendiri. Dan karena itu, sang raja pun meninggal dunia.
Ia kemudian membangun rumah batu yang kuat, dan menempatkan beberapa penjaga di luar.
Suatu hari, ketika berada di dalamnya, ia sadar bahwa masih dapat melihat cahaya (siang). Ia menemukan lubang yang kemudian ditutupnya pula, untuk mencegah kemalangan masuk. Dengan menutup pintu, menjadikan dirinya sendiri tawanan dengan kedua tangannya sendiri. Dan karena itu, sang raja pun meninggal dunia.
RUANG INI
Pada dinding dalam lengkungan tekkia di gedung meditasi Aththar
yang bersambungan, tertulis kata-kata:
“Disediakan untuk Orang Bijak (Hakim) Tamtim.”
Syeikh Aththar menyuruh murid tertuanya untuk meneliti sikap semua pendatang baru terhadap persembahan tersebut.
Ia menggambarkan bahwa semua yang memberikan tanggapan dalam cara tertentu, akan mengembangkan kekuatan mistik secara benar dan cepat; dan yang mengatakan atau melakukan sesuatu akan pergi atau harus disuruh pergi.
Aththar tidak pernah menanyakan kepada muridnya, pelamar mana yang bersikap demikian. Tetapi mereka meneliti, selama bertahun-tahun, hasilnya sesuai yang digambarkan.
Suatu hari ia ditanya, mengapa meninggalkan persembahan tersebut di sana. Jawabnya, “Untuk menunjukkan mereka yang tidak tanggap, dan tampaknya tidak cukup menunjukkan tentang pengalaman-pengalaman tertentu, akan mengkhianati kemampuan diri atau tidak mencukupi, pada seseorang yang tahu bagaimana membuat suatu ujian.”
“Disediakan untuk Orang Bijak (Hakim) Tamtim.”
Syeikh Aththar menyuruh murid tertuanya untuk meneliti sikap semua pendatang baru terhadap persembahan tersebut.
Ia menggambarkan bahwa semua yang memberikan tanggapan dalam cara tertentu, akan mengembangkan kekuatan mistik secara benar dan cepat; dan yang mengatakan atau melakukan sesuatu akan pergi atau harus disuruh pergi.
Aththar tidak pernah menanyakan kepada muridnya, pelamar mana yang bersikap demikian. Tetapi mereka meneliti, selama bertahun-tahun, hasilnya sesuai yang digambarkan.
Suatu hari ia ditanya, mengapa meninggalkan persembahan tersebut di sana. Jawabnya, “Untuk menunjukkan mereka yang tidak tanggap, dan tampaknya tidak cukup menunjukkan tentang pengalaman-pengalaman tertentu, akan mengkhianati kemampuan diri atau tidak mencukupi, pada seseorang yang tahu bagaimana membuat suatu ujian.”
Catatan:
- Artikel ini dikutip dari Buku “Kisah-kisah Sufi” oleh Idries Shah.
Dan Musa Pun Jatuh Pingsan
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Nabi
Musa ‘alaihis-salaam’ telah memenuhi panggilan Allah swt., ia pun menitipkan
Bani Israil ke Nabi Harun as., saudaranya, untuk naik ke gunung Sinai
(Thuursina), gunung Allah yang keramat itu. Setelah ia menyempurnakan 40 malam
yang diisi dengan puasa dan beribadat sendirian di atas gunung itu, Allah swt.
pun berfirman dan menurunkan Taurat kepadanya. Kemudian Nabi Musa as. pun
sangat rindu untuk dapat melihat Wajah Sang Kekasih yang telah berkata-kata
kepadanya, Wajah Rabb-nya.
“Dan tatkala Musa datang menurut waktu yang telah Kami tentukan,
dan telah berfirman Rabb-nya kepadanya, berkatalah ia: ‘Ya Rabbi perlihatkanlah
(Diri-Mu) kepadaku, agar aku dapat memandang Engkau’. Berkatalah Allah: ‘Engkau
sekali-kali tidak akan mampu untuk melihat-Ku, akan tetapi arahkanlah pandangan
(engkau) ke gunung itu, maka jika ia tetap pada tempatnya niscaya engkau dapat
melihat-Ku!’.”, QS.Al-’Araaf.[7]:143.
Setelah mendengar permintaan Nabi Musa as. itu, kemudian Allah
swt. berfirman: “Wahai putra Imran, sesungguhnya tidak akan ada seorang pun
yang sanggup untuk melihat-Ku, kemudian ia mampu untuk tetap hidup!”
Nabi Musa as. berkata: “Rabbi, tidak ada sesuatu pun yang
menyekutui-Mu, sesungguhnya melihat-Mu dan kemudian mati itu lebih aku sukai
daripada aku terus hidup dengan tanpa melihat-Mu! Rabbi, sempurnakanlah nikmat,
anugrah, dan hikmat-Mu kepadaku dengan mengabulkan permohonanku ini, setelah
itu aku rela mati!”
Ibnu Abbas ra., sahabat Rasulullah saw., meriwayatkan bahwa
ketika Allah swt. mengetahui bahwa Nabi Musa as. ingin sekali permohonannya
dikabulkan, maka berfirmanlah Allah swt.: “Pergilah engkau, dan lihatlah batu
yang ada di atas puncak gunung itu, duduklah engkau di atas batu itu, kemudian
Aku akan menurunkan balatentara-Ku kepadamu!”
Nabi Musa as. pun melaksanakan perintah
Allah swt. tersebut. Dan ketika ia telah berada di atas batu itu, Allah swt. pun
memerintahkan balatentara-Nya, para Malaikat hingga langit ketujuh, untuk
menampakkan diri kepadanya.
Diperintahkan-Nya para Malaikat penghuni
langit dunia untuk menampakkan diri di hadapan Nabi Musa as. Mereka pun berlalu
di hadapan Nabi Musa as. sambil mengeraskan suara tasbih dan tahlil mereka,
bagaikan suara petir yang menyambar-nyambar.
Kemudian, para Malaikat penghuni langit
kedua diperintahkan-Nya untuk menampakkan diri di hadapan Nabi Musa as., mereka
pun melaksanakannya. Mereka berlalu di hadapan Nabi Musa as. dengan warna dan bentuk
yang beraneka ragam. Mereka ini bersayap
dan memiliki raut muka, diantara mereka ada yang berbentuk seperti singa.
Mereka mengeraskan suara-suara tasbihnya.
Mendengan teriakan suara itu, Nabi Musa as.
pun merasa ngeri, dan kemudian berkata: “Ya Rabbi, sungguh aku menyesal atas
permohonanku. Rabbi, apakah Engkau berkenan untuk menyelamatkan aku dari tempat
yang aku duduki ini?”
Pimpinan dari kelompok Malaikat tersebut
berkata: “Hai Musa, bersabarlah atas apa yang engkau minta, apa yang engkau
lihat ini baru sebagian kecil saja!”
Allah swt. kemudian memerintahkan para
Malaikat penghuni langit ketiga agar mereka turun dan menampakkan diri di
hadapan Nabi Musa as. Lalu, keluarlah Malaikat-malaikat yang tak terhitung
jumlahnya dengan beragam bentuk dan warnanya. Bentuk mereka ada yang seperti
api yang menjilat-jilat, mereka memekikkan tasbih dan tahlil dengan suara yang
hiruk-pikuk.
Mendengar suara ini semakin terkejutlah
Nabi Musa as. dan timbullah rasa su’udzdzan dalam dadanya, bahkan berputus asa
untuk hidup. Kemudian pemimpin para Malaikat dari kelompok ketiga ini berkata:
“Wahai putra Imran, bersabarlah hingga engkau melihat lagi apa yang engkau
tidak sanggup lagi untuk melihatnya!”
Allah swt. kemudian menurunkan wahyu kepada
para Malaikat penghuni langit keempat, “Turunlah kamu sekalian kepada Musa
dengan mengumandangkan tasbih!”
Para Malaikat langit keempat ini pun turun.
Diantara mereka ada yang berbentuk seperti kobaran api yang menjilat-jilat, dan
ada pula yang seperti salju. Mereka mempunyai suara yang melengking dengan
mengumandangkan tasbih dan taqdis. Suara mereka berbeda dengan suara
Malaikat-malaikat terdahulu. Kepada Nabi Musa as. ketua dari kelompok ini
berkata: “Hai Musa! Bersabarlah atas apa yang engkau minta!”
Demikianlah, penghuni dari setiap langit
hingga penghuni langit ketujuh satu demi satu turun dan menampakkan diri di
hadapan Nabi Musa as. dengan warna dan bentuk yang beragam. Semua Malaikat
tersebut bergerak maju sambil cahayanya menyambar semua mata yang ada. Mereka
ini datang dengan membawa tombak-tombak panjang. Setiap tombak itu panjangnya
sepanjang sebatang pohon kurma yang tinggi dan besar. Tombak-tombak
itu bagaikan api yang bersinar terang-benderang melebihi sinar matahari.
Nabi
Musa as. menangis sambil meratap-ratap, katanya: “Ya Rabbi, ingatlah aku,
jangan Engkau lupakan diriku ini! Aku adalah hamba-Mu! Aku tidak mempunyai
keyakinan bahwa aku akan selamat dari tempat yang aku duduki ini! Jika aku keluar, aku akan terbakar, dan jika aku tetap di
tempat ini maka aku akan mati!”
Ketua kelompok Malaikat itu pun berkata
kepada Nabi Musa as.: “Nyaris dirimu dipenuhi dengan ketakutan, dan nyaris pula
hatimu terlepas! Tempat yang kamu gunakan untuk duduk inilah merupakan tempat
yang akan kamu pergunakan untuk melihat-Nya!”
Kemudian turunlah Malaikat Jibril as.,
Mika’il as., dan Israfil as. beserta seluruh Malaikat penghuni ketujuh langit
yang ada, termasuk para Malaikat pemikul Al-’Arsy dan Al-Kursi. Mereka secara
bersama-sama menghadap kapada Nabi Musa as. seraya berkata: “Wahai orang yang
terus-menerus salah! Apa yang menyebabkanmu naik ke atas bukit ini? Mengapa
kamu memberanikan diri meminta kepada Rabb-mu untuk dapat melihat kepada-Nya!?”
Nabi Musa as. terus menangis hingga
gemetaranlah kedua lututnya, dan seakan-akan luruh tulang-tulang persendiannya.
Ketika Allah swt. melihat semua itu, maka
ditampakkan-Nya lah kepada Nabi Musa as. tiang-tiang penyangga Al-’Arsy, lalu
Nabi Musa as. bersandar pada salah satu tiang tersebut sehingga hatinya menjadi
tenang.
Malaikat Israfil kemudian berkata
kepadanya: “Hai Musa! Demi Allah, kami ini sekalipun sebagai pemimpin-pemimpin
para Malaikat, sejak kami semua diciptakan, kami tidak berani untuk mengangkat
pandangan mata kami ke arah Al-’Arsy! Karena kami sangat khawatir dan sangat
takut! Mengapa kamu sampai berani melakukan hal ini wahai hamba yang lemah!?”
Setelah hatinya tenang, Nabi Musa as.
menjawab: “Wahai Israfil! Aku ingin mengetahui akan Keagungan Wajah Rabb-ku,
yang selama ini aku belum pernah melihatnya”
Allah swt. kemudian menurunkan wahyu kepada
langit: “Aku akan menampakkan-Diri, bertajalli pada gunung itu!”
Maka bergetarlah seluruh langit dan bumi,
gunung-gunung, matahari, bulan, mega, surga, neraka, para Malaikat dan
samudera. Semua tersungkur bersujud, sementara Nabi Musa as. masih
memandang ke arah gunung itu.
“Tatkala Rabb-nya menampakkan Diri (bertajalli) di atas gunung
itu, maka hancur luluh lah gunung itu dan Musa pun jatuh pingsan”,
QS.Al-’Araaf.[7]:143.
Nabi Musa as. seakan-akan mati karena
pancaran Cahaya Allah swt. Yang Mulia, dan ia terjatuh dari batu, dan batu itu
sendiri terjungkal, terbalik menjadi semacam kubah yang menaungi Nabi Musa as.
agar tidak terbakar Cahaya.
Kemudian Allah swt. mengutus Malaikat
Jibril as. untuk membalikkan batu itu dari tubuh Nabi Musa as., dan
membimbingnya berdiri. Wajah Nabi Musa as. memancarkan cahaya kemuliaan,
rambutnya memutih karena Cahaya.
“Maka setelah Musa tersadar kembali, dia
berkata: ‘Maha Suci Engkau, aku sungguh bertaubat kepada-Mu, dan aku adalah
orang yang pertama kali beriman!”, QS.Al-’Araaf.[7]:143.
Nabi Musa as. bertaubat atas apa yang ia
minta, dan ia berkata: “Saya beriman, bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun
yang akan mampu melihat-Mu dengan mata lahir, kecuali ia akan mati!”
Diadaptasi dari terjemahan kitab
“Mukhtashar Kitaabit-Tawwabiin“, karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisy.
Zamzam A J Tanuwijaya
Bintaro, 27 Oktober 2009.
Bintaro, 27 Oktober 2009.
Musyawarah Para Burung
Posted
on 4
November 2009 by Salik
Paramartha
Dikisahkan,
segala burung di dunia, yang dikenal atau tidak dikenal, datang berkumpul. Mereka sama-sama memiliki satu pertanyaan, siapakah raja
mereka? Di antara mereka ada yang berkata, “Rasanya tak mungkin negeri dunia
ini tidak memiliki raja. Maka rasanya mustahil bila kerajaan burung-burung
tanpa penguasa! Jadi, kita semua memiliki Raja, ya, Raja.”
Semua burung tertegun, seperti ada keraguan
yang mengawang-awang.
“Keadaan semacam ini tak bisa dibiarkan
terus menerus. Hidup kita ini akan percuma bila sepanjang hayat kita, kita
tidak pernah mengetahui, dan mengenal siapa Raja kita sesungguhnya.”
Masing-masing dari mereka masih berfikir dan terdiam. Lalu kembali ada yang berteriak, “Lalu apa yang harus
kita lakukan?”
“Tentu saja kita harus berusaha bersama-sama mencari
seorang raja untuk kita semua; karena tidak ada negeri yang memiliki tatanan
yang baik, tanpa seorang raja.· Mereka pun mulai berkumpul dan bersidang untuk
memecahkan persoalan. Burung Hudhud dengan semangat dan penuh rasa percaya
diri, tampil ke depan dan menempatkan diri di tengah majelis burung-burung itu.
Di dadanya tampak perhiasan yang melambangkan bahwa dia telah memiliki pancaran
ruhaniah yang tinggi. Dan jambul di kepalanya tegak berdiri mahkota yang
melambangkan keagungan dan kebenaran, dan dia juga memiliki pengetahuan luas
tentang baik dan buruk.
Burung-burung sekalian, kata Hudhud, kita
mempunyai raja sejati, ia tinggal jauh di balik gunung-gunung Qaf. Ribuan
daratan dan lautan terbentang sepanjang perjalanan menuju tempatnya. Namanya
Simurgh. Aku kenal raja itu dengan baik, tapi aku tak bisa terbang sendiri
menemuinya. Bebaskan dirimu dari rasa malu, sombong, dan ingkar. Dia pasti akan
melimpahkan cahaya bagi mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri. Mereka
yang demikian akan bebas dari baik dan buruk, karena berada di jalan
kekasih-Nya. Sesungguhnya Dia dekat dengan kita, tapi kita jauh dari-Nya.
Dikisahkan, pada suatu malam sang Maharaja Simurgh
terbang di kegelapan malam. Tiba-tiba jatuhlah sehelai bulunya yang membuat
geger seluruh penduduk bumi. Begitu mempesonanya bulu Simurg hingga
membuat tercengang dan terheran-heran. Semua penduduk gegap gempita ingin
menyaksikan keindahan dan keelokannya. Dan dikatakan kepada mereka, “Andaikata
sehelai bulu tersebut tidak jatuh, niscaya tidak akan ada makhluk yang bernama
burung di muka bumi ini.”
Kemudian burung Hudhud melanjutkan pembicaraannya, bahwa untuk
menggapai istana Simurg mereka harus bersatu, saling bekerja sama dan tidak
boleh saling mendahului. Setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh burung
Hudhud, semua burung-burung bersemangat ingin sekali secepatnya pergi menghadap
sang Maharaja Simurg. Namun, burung Hudhud menambahkan, bahwa perjalanan menuju
istana Simurg tidak semudah yang dibayangkan, melainkan harus melewati ribuan
rintangan dan guncangan dahsyat. Perjalanan juga sarat dengan penderitaan,
kepedihan dan kesengsaraan.
“Apakah kalian sudah siap ?” kata burung Hudhud, menguji
keseriusan mereka. Setelah mereka mendengarkan penjelasan bagaimana suka
dukanya, pahit getirnya perjalanan menuju istana Simurg, ternyata semangat
sebagian burung menjadi pudar dan turun.
Namun,
di antara burung-burung, ada seekor burung Kenari yang memberanikan diri
menyampaikan pendapatnya, “Aku adalah Imamul Asyiqin, imamnya orang-orang yang
asyik dan rindu. Aku sangat keberatan untuk ikut berangkat, bagaimana nanti
orang-orang rindu dengan kemerduan kicauanku bila aku harus meninggalkan
mereka. Bagaimana mungkin aku dapat berpisah dari kembang-kembang mekarku ?”
demikian alasan burung Kenari.
Selanjutnya, burung Merak berkata, “Dulu aku hidup di syurga
bersama Adam, lantas aku diusir dari syurga, rasanya aku ingin kembali ke
tempat tinggalku lagi. Karena itu, aku tidak mau ikut dalam rombongan.”
Kemudian disusul oleh Itik, “Aku sudah biasa hidup dalam
kesucian, dan aku juga terbiasa berenang di tempat yang kering kerontang. Aku
tidak mungkin hidup tanpa air,” kilah Itik.
Begitu juga burung Garuda, “Saya sudah biasa hidup senang di
gunung, bagaimana mungkin aku sanggup meninggalkan tempatku yang menyenangkan”,
alasan Garuda.
Kemudian disusul burung Gelatik, “Aku hanya seekor burung kecil,
dan lemah, takkan mungkin sanggup ikut mengembara sejauh itu,” kata burung
Gelatik.
Lantas burung Elang ikut menyahut, “Semua orang sudah tahu
kedudukanku yang tinggi ini, maka tidak mungkin aku meninggalkan tempat dan
kedudukan yang mulia ini, ” kata burung Elang.
Burung Hudhud sebagai pemimpin sangat bijak dan sabar mendengar
semua keluhan dan alasan burung-burung yang enggan berangkat. Namun demikian,
burung Hudhud tetap bersemangat memberikan dorongan dan motivasi kepada mereka.
“Kenapa kalian harus berberlindung di balik dalil-dalil nafsumu, sehingga
semangatmu yang sudah membara menjadi padam? Padahal kalian tahu bahwa
perjalanan menuju istana Simurgh adalah perjalanan suci, kenapa harus takut dan
bimbang dengan prasangka yang ada pada dirimu?” ucap Hudhud.
Kemudian ada seekor burung menyela, “Dengan cara apa kita bisa
sampai ke tempat Maharaja Simurgh yang jauh dan sulit itu? “Dengan bekal himmah
(semangat) yang tinggi, kemauan yang kuat, dan tabah menghadapi segala cobaan
dan rintangan. Bagi orang yang rindu, seperti apapun cobaan akan dihadapi, dan
seberapa pun rintangan akan dilewati. Perlu diketahui bahwa Maharaja Simurg
sudah jelas dan dekat, laksana matahari dengan cahayanya,” jawab Hudhud
meyakinkan. Sabarlah, bertawakkallah, karena bila kalian telah sanggup menempuh
perjalanan itu, kalian akan tetap berada dalam jalan yang benar,·demikian
lanjut Hudhud.
Setelah itu, bangkitlah semangat burung-burung seolah-olah baru
saja mendapatkan kekuatan baru untuk terus melangkah menuju istana Simurg.
Akhirnya, burung-burung yang berjumlah ribuan sepakat untuk berangkat
bersama-sama tanpa satupun yang tertinggal.
Perjalanan panjang telah dimulai,
perbekalan telah disiapkan. Burung Hudhud yang didaulat menjadi pemimpin mereka
telah mengatur persiapan, dengan membagi rombongan menjadi beberapa kelompok.
Setelah perjalanan cukup lama menembus lorong-lorong waktu, kegelisahan mulai
datang menimpa mereka. “Mengapa perjalanan sudah lama dan jauh, kok tidak
sampai-sampai?” guman mereka di dalam hati. Mulailah mereka dihinggapi rasa
malas karena menganggap perjalanan terlalu lama, mereka bosan karena tidak
lekas sampai. Perasaan mereka diliputi keraguan dan kebimbangan. Kemudian
sebagian burung ada yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Namun burung-burung lain yang masih
memiliki stamina kuat dan himmah yang tinggi tidak menghiraukan penderitaan
yang mereka alami, dan melanjutkan perjalanan yang maha panjang itu.
Tiba-tiba rintangan datang kembali, terpaan angin yang sangat
kencang menerpa mereka sehingga membuat bulu-bulu indah yang dibanggakan
berguguran. Kegagahan burung-burung perkasa pun mulai pudar. Kedudukan dan
pangkat yang tinggi sudah tidak terpikirkan. Berbagai macam penyakit mulai
menyerang mereka, kian lengkaplah penderitaan yang dirasakan oleh para burung
tersebut. Badan mereka kurus kering, penyakit datang silih berganti membuat mereka
makin tidak berdaya. Semua atribut duniawi yang dulu disandang dan dibanggakan,
sekarang tanggal tanpa sisa, yang ada hanyalah totalitas kepasrahan dalam
ketidak berdayaan. Mereka hanyut dalam samudera iradatullah dan tenggelam dalam
gelombang fana’.
Pada akhirnya Cuma sedikit dari mereka yang benar-benar sampai
ke tempat yang teramat mulia dimana Simurg membangun mahligainya. Dari ribuan
burung yang pergi, tinggal 30 ekor yang masih bertahan dan akhirnya sampai di
gerbang istana Simurgh. Namun kondisi mereka
sangat memprihatinkan, tampak gurat-gurat kelelahan di wajah mereka. Bahkan
bulu-bulu yang menempel di tubuh mereka rontok tak bersisa. Di sini terlihat,
meski mereka berasal dari latar belakang berbeda, namun pada proses puncak
pencapaian spiritual adalah sama, yaitu dalam kondisi telanjang bulat dan lepas
dari pakaian basyariyah.
Kemudian di depan gerbang istana mereka
beristirahat sejenak sambil mengatur nafas. Tiba-tiba datang penjaga istana
menghampiri mereka, “Apa tujuan kalian susah payah datang ke istana Simurgh?”
kata penjaga istana. Serentak mereka menjawab, “Saya datang untuk menghadap
Maharaja Simurg, berilah kami kesempatan untuk bertemu dengannya.”
Tanpa diduga, terdengar suara sayup-sayup
menyapa mereka dari dalam istana, “Salaamun qaulam min rabbir rahiim” sembari
mempersilahkan mereka masuk ke dalam. Lalu mereka masuk secara bersama-sama.
Kemudian terbukalah kelambu hijab satu demi satu yang berjumlah ribuan. Mata
mereka terbelalak memandang keindahan yang amat mempesona, keindahan yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya, keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan
kata-kata.
Tatkala seluruh hijab tersingkap, ternyata
yang dijumpai adalah wujud dirinya. Burung-burung pun saling bertanya dan
terkagum-kagum, “Lho kok aku sudah ada disini?” begitu guman mereka dalam hati.
Seolah-olah mereka berada di depan cermin sehingga yang ada adalah wujud
dirinya. Maka datanglah suara lembut menjawabnya, “Mahligai Simurgh ibarat
cermin, maka siapapun yang sampai pada mahligai ini, tidak akan melihat wujud
selain wujud diri sendiri. Perjumpaan ini di luar angan dan pikirmu, dan juga
tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, namun hanya dapat dirasakan dengan
rasa. Karena itu, engkau harus keluar dari dalam dirimu sehingga engkau menjadi
sosok pribadi Insan Kamil.”
Akhirnya, mereka memahami hakikat dirinya,
setelah melewati tahapan fana’ billah hingga mencapai puncak baqa’ billah. Maka
hilanglah sifat-sifat kehambaan dan kekal dalam ketuhanan.
Dikutip dari Majalah “KASYAF”.
Diadaptasi dari Buku “Musyawarah Para Burung“, karya Fariduddin Attar
Diadaptasi dari Buku “Musyawarah Para Burung“, karya Fariduddin Attar
Tugas Murid Junaid
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Junaid Al-Baghdadi,
seorang tokoh sufi, mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri
Junaid yang lain menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh
memberi perhatian khusus kepada anak itu.
Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam
di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa
mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat
mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa
ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu
baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain
menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak boleh melaksanakan perintah
Syeikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk
menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata
bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu,
menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia
membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu
ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata
bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya
sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam
itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong
ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di
sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat
menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak
ada tempat di mana Dia tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih
bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Aku
tak boleh pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku.
Bahlul dan Tahta Raja
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Bahlul, si tolol yang
bijaksana, sering menyembunyikan kecendekiaannya di balik tabir kegilaan.
Dengan itu, ia dapat keluar masuk istana Harun Al-Rasyid dengan bebasnya. Sang Raja pun amat menghargai bimbingannya.
Suatu hari, Bahlul masuk ke istana dan
menemukan singgasana Raja kosong. Dengan enteng, ia langsung mendudukinya. Menempati
tahta Raja termasuk ke dalam kejahatan berat dan boleh dihukum mati. Para
pengawal menangkap Bahlul, menyeretnya turun dari tahta, dan memukulinya. Mendengar
teriakan Bahlul yang kesakitan, Raja segera menghampirinya.
Bahlul masih menangis keras ketika Raja
menanyakan sebab keributan ini kepada para pengawal. Raja berkata kepada yang
memukuli Bahlul, “Kasihan! Orang ini gila. Mana ada orang waras yang berani
menduduki singgasana Raja?” Ia lalu berpaling ke arah Bahlul, “Sudahlah, tak
usah menangis. Jangan kuatir, cepat hapus air matamu.” Bahlul menjawab, “Wahai
Raja, bukan pukulan mereka yang membuatku menangis. Aku menangis karena kasihan
terhadapmu!”
“Kau mengasihaniku?” Harun mengherdik,
“Mengapa engkau harus menangisiku?” Bahlul menjawab, “Wahai Raja, aku cuma
duduk di tahtamu sekali tapi mereka telah memukuliku dengan begitu keras.
Apalagi kau, kau telah menduduki tahtamu selama dua puluh tahun. Pukulan
seperti apa yang akan kau terima? Aku menangis karena memikirkan nasibmu yang
malang…
Kepala Ikan untuk Sang Nelayan
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Seorang nelayan salih di
Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia
melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan
seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan
sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi.
Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.
Suatu saat, salah seorang murid sang
nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk
mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan
nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.
Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn
Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh.
Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri
di puncak suatu bukit. “Itulah rumah Syaikh,” ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa
amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih
dari seorang nelayan sederhana.
Dengan penuh keraguan, ia pun pergi
mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang perjalanan ia melewati
ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan
kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia
memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak
lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri,
bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi seorang guru
sufi.
Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang
paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah
sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya. Dinding rumah itu
terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh karpet-karpet
mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah
dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang
syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi sedang mengunjungi khalifah dan
akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan
mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang
terdiri dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang
berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi
dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan surban yang lazim
dipakai para sultan.
Si murid lalu dibawa menghadap Ibn Arabi.
Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan
kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi
tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, “Katakanlah
pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.”
Tatkala murid itu kembali ke kampungnya,
guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan
syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah
menemuinya. “Lalu,” tanya nelayan itu, “apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat
bagiku?”
Pada awalnya, si murid enggan mengulangi
nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa
berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya
kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya,
akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi.
Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah kehairanan,
bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati
gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.
“Dia benar,” jawab sang nelayan, “ia
benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap
malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu
seekor ikan yang utuh.
Sumber: syafii.wordpress.com.
Keperluan Yang Makin Mendesak
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Pada suatu malam, seorang
penguasa tiran di Turkistan sedang mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan
oleh seorang darwis. Tiba-tiba bertanya tentang Nabi Khidir. Khidir, kata
darwis itu, datang kalau diperlukan. Tangkap
dan jubahkan ia kalau ia muncul, dan segala pengetahuan menjadi milik paduka.
Apakah itu boleh terjadi pada siapa pun? Siapa pun boleh, kata darwis itu.
Siapa pula lebih boleh dariku? fikir sang
Raja; dan ia pun mengedarkan pengumuman: Barangsiapa boleh menghadirkan Khidir
yang gaib, akan kujadikan orang kaya.
Seorang lelaki miskin dan buta bernama
Bakhtiar Baba, setelah mendengar pengumuman itu menyusun akal. Ia berkata
kepada istrinya, Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi beberapa lama
kemudian aku harus mati. Namun, hal itu tidak mengapa, sebab kekayaan kita itu
boleh menghidupimu selamanya.
Kemudian Bakhtiar menghadap Raja dan
mengatakan bahwa ia akan mencari Khidir dalam waktu empat puluh hari, kalau
Raja bersedia memberinya seribu keping emas. Kalau kau boleh menemukan Khidir,
kata Raja, kau akan mendapat sepuluh kali seribu keping wang emas ini. Kalau
gagal, kau akan mati, dipancung di tempat ini sebagai peringatan kepada siapa
pun yang akan mencoba mempermainkan rajanya.
Bakhtiar menerima syarat itu. Ia pun pulang
dan memberikan wang itu kepada istrinya, sebagi jaminan hari tuanya. Sisa
hidupnya yang tinggal empat puluh hari itu dipergunakannya untuk merenung,
mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain.
Pada hari keempat puluh ia menghadap Raja.
Yang Mulia, katanya, kerakusanmu telah menyebabkan kau berfikir bahwa wang akan
boleh mendatangkan Khidir. Tetapi Khidir, kata orang, tidak akan muncul oleh
panggilan yang berdasarkan kerakusan.
Sang Raja sangat marah, Orang celaka, kau
telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini berani mencampuri keinginan
seorang raja?
Bakhtiar berkata, Menurut dongeng, semua
orang boleh bertemu Khidir, tetapi pertemuan itu hanya akan ada manfaatnya
apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Khidir akan menemui orang selama
ia boleh memanfaatkan saat kunjungannya itu. Itulah hal yang kita
tidak menguasainya.
Cukup ocehan itu, kata sang Raja, sebab tak
akan memperpanjang hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri yang berkumpul
di sini agar memberikan nasihatnya tentang cara yang terbaik untuk menghukummu.
Ia menoleh ke Menteri Pertama dan bertanya,
Bagaimana cara orang itu mati? Menteri Pertama menjawab, Panggang dia
hidup-hidup sebagai peringatan.
Menteri Kedua, yang berbicara sesuai
urutannya, berkata, Potong-potong tubuhnya, pisah-pisahkan anggota badannya.
Menteri Ketiga berkata, Sediakan kebutuhan
hidup orang itu agar ia tidak lagi mau menipu demi kelangsungan hidup
keluarganya.
Sementara pembicaraan itu berlangsung,
seseorang yang bijaksana yang sudah sangat tua memasuki rwang pertemuan. Ia
berkata, Setiap orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka yang
tersembunyi di dalam dirinya.
Apa maksudmu, tanya Raja.
Maksudku, Menteri Pertama itu aslinya
Tukang Roti, jadi ia berbicara tentang panggang memanggang. Menteri
Kedua, dulunya Tukang Daging, jadi ia berbicara tentang potong memotong daging.
Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu kenegaraan, melihat sumber masalah
yang kita bicarakan ini.
Catat dua hal ini, pertama, Khidir muncul melayani setiap orang
sesuai kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar,
orang ini yang kuberi nama Baba (Bapak dalam bahasa Parsi, -red.) karena
pengorbanannya- telah didesak oleh keputusasaannya untuk melakukan tindakan
tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga aku pun muncul di depanmu.
Ketika orang-orang itu memperhatikannya, orang tua yang
bijaksana itu pun lenyap begitu saja. Sesuai yang diperintahkan Khidir. Raja
memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar. Menteri Pertama dan Kedua dipecat,
dan seribu keping wang emas itu dikembalikan ke kas kerajaan oleh Bakhtiar dan
istrinya.
Catatan:
Konon, Bakhtiar Baba adalah seorang sufi bijaksana, yang
hidupnya sangat sederhana dan tak dikenal orang di Khurasan, sampai peristiwa
yang ada dalam kisah itu terjadi. Kisah ini, dikatakan juga terjadi pada
sejumlah besar syekh sufi lain dan menggambarkan pengertian tentang terjalinnya
keinginan manusia dengan makhluk lain. Khidir merupakan penghubung antara
keduanya. Judul ini diambil dari sebuah sajak terkenal karya Jalaluddin Rumi:
Peralatan baru bagi pemahaman akan ada apabila keperluan menuntutnya/
Karenanya, wahai manusia, jadikan keperluanmu makin mendesak/ Sehingga engkau
boleh mendesakkan pemahamanmu lebih peka lagi.
Sumber: syafii.wordpress.com
Tuhan Melihat Hatimu
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Pada suatu hari, Hasan
Al-Basri pergi
mengunjungi Habib Ajmi, seorang sufi besar lain. Pada waktu salatnya, Hasan
mendengar Ajmi banyak melafalkan bacaan salatnya dengan keliru. Oleh karena itu, Hasan memutuskan untuk tidak salat
berjamaah dengannya. Ia menganggap kurang pantaslah bagi dirinya untuk salat
bersama orang yang tak boleh mengucapkan bacaan salat dengan benar.
Di malam harinya, Hasan
Al-Basri bermimpi.
Ia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Hasan, jika saja kau berdiri di
belakang Habib Ajmi dan menunaikan salatmu, kau akan memperoleh keridaan-Ku,
dan salat kamu itu akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar daripada
seluruh salat dalam hidupmu. Kau mencoba mencari kesalahan dalam bacaan
salatnya, tapi kau tak melihat kemurnian dan kesucian hatinya. Ketahuilah, Aku
lebih menyukai hati yang tulus daripada pengucapan tajwid yang sempurna.
Sumber: syafii.wordpress.com
Tiga Nasihat
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Pada suatu hari, ada seseorang menangkap burung. Burung
itu berkata kepadanya, Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja
aku. Nanti aku beri kau tiga nasihat.Si burung
berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang
itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan
yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat
pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun
engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal.
Orang itu pun melepaskannya dan burung itu
segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan
percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.
Kemudian burung itu terbang ke puncak
gunung. Dari sana ia berkata, Wahai manusia malang! Dalam diriku
terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan
memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya,
namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu!
Si burung menjawab, Alangkah tololnya kau
meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama
sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan
mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan
keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun
tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya
kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia.
Catatan:
Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk
mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak
boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di
kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah
ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah
seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas.
Sumber: syafii.wordpress.com
Isa Dan Orang-Orang Bimbang
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Diceritakan
oleh Sang Guru Jalaludin Rumi dan yang lain-lain, pada suatu hari
Isa, putra Mariam, berjalan-jalan di padang pasir dekat Baitulmukadis
bersama-sama sekelompok orang yang masih suka mementingkan diri sendiri.
Mereka meminta dengan sangat agar Isa memberitahukan kepada
mereka Kata Rahasia yang telah dipergunakannya untuk menghidupkan orang mati.
Isa berkata, “Kalau kukatakan itu padamu, kau pasti menyalahgunakannya.”
Mereka berkata, “Kami sudah siap dan sesuai untuk pengetahuan
semacam itu; tambahan lagi, hal itu akan menambah keyakinan kami.”
“Kalian tak memahami apa yang kalian
minta,” katanya -tetapi diberitahukannya juga Kata Rahasia itu.
Segera setelah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu
tempat yang terlantar dan mereka melihat seonggok tulang yang sudah memutih. “Mari kita uji keampuhan Kata itu,” kata mereka, Dan
diucapkanlah Kata itu.
Begitu Kata diucapkan, tulang-tulang itupun
segera terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar yang
kelaparan, yang kemudian merobek-robek mereka sampai menjadi serpih-serpih
daging.
Mereka yang dianugerahi nalar akan
mengerti. Mereka yang nalarnya terbatas bisa belajar melalui kisah ini.
Catatan
Isa dalam kisah ini adalah Yesus, putra
Maria. Kisah ini mengandung gagasan yang sama dengan yang ada dalam Magang
Sihir, dan juga muncul dalam karya Rumi, di samping selalu muncul dalam
dongeng-dongeng lisan para darwis tentang Yesus. Jumlah dongeng semacam itu
banyak sekali.
Yang sering disebut-sebut sebagai tokoh
yang suka mengulang-ngulang kisah ini adalah salah seorang di antara yang
berhak menyandang sebutan Sufi, Jabir putra al-Hayan, yang dalam bahasa Latin
di sebut Geber, yang juga penemu alkimia Kristen.
Ia meninggal sekitar 790. Aslinya ia orang
Sabia, menurut para pengarang Barat, ia membuat penemuan-penemuan kimia
penting.
Sumber: syafii.wordpress.com.
Pertaubatan Seorang Pembunuh
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
“Jangan pernah
mengira bahwa engkaulah yang memperbaiki dirimu. Taubatmu adalah rahmat dari Allah. Demikian pula
kemampuanmu untuk menindaklanjuti taubat itu.”
PERNAH pada suatu ketika, ada seorang
penjahat kejam yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Suatu hari,
dia mendatangi seorang guru agama dan mengatakan bahwa dia ingin mengubah
hidupnya, sebagai taubat atas segala kesalahannya. Guru itu menjawab bahwa ia
sudah tidak mungkin lagi diampuni karena dosanya sudah ‘keterlaluan’. Dengan
sangat marah penjahat itu mengatakan, kalau memang dosanya tidak bisa diampuni,
ia sekalian saja membunuh guru itu. Dan ditebasnyalah leher guru agama itu.
Tidak lama kemudian, penjahat itu
berpapasan dengan seorang bijak, seorang ulama yang telah benar-benar menyerap
dan mengamalkan segala yang diajarkannya. Kepada orang bijak itu dia bertanya,
apakah ia masih bisa diampuni walaupun telah membunuh seratus orang tak
bersalah. Sang ulama bijak ini menjawab bahwa Allah pasti mengampuni orang yang
bertaubat dengan sungguh-sungguh ikhlas. Ia juga menambahkan sebuah nasihat kepada
si penjahat, bahwa ia harus pergi dari kampungnya yang penuh dengan perampok
dan penjahat. Ia harus pindah ke sebuah kota kecil tak jauh dari sana, yang di
sana merupakan tempat tinggal banyak orang jujur dan lurus. Teman yang baik
membawa kita pada akhlak yang baik, sedangkan teman yang buruk akan membawa
kita pada dosa.
Penjahat itu pun pulang, membereskan
barang-barangnya, lalu berangkatlah ia ke kota tempat tinggal orang-orang lurus
itu. Hanya saja, baru beberapa langkah ia meninggalkan kota, saat kematiannya
pun tiba, sehingga malaikat maut pun mencabut nafs-nya. Seiring dengan
kejatuhan jasadnya ke tanah, datanglah malaikat-malaikat penjaga neraka untuk
mengambil nafs-nya. Pada saat yang sama, malaikat-malaikat penjaga surga pun
tiba, juga hendak mengambil nafs-nya. Para malaikat neraka berpendapat bahwa
bandit itu telah membunuh seratus orang, sehingga nafs-nya harus dibawa ke
neraka. Tetapi kelompok malaikat penjaga surga berpendapat bahwa bandit itu
telah bertaubat dengan ikhlas, bahkan ia telah mengamalkan taubatnya menjadi
perbuatan, dengan meninggalkan kampungnya menuju kota yang warganya jujur dan
lurus.
Akhirnya, diutuslah malaikat Jibril a.s.
untuk menghakimi perkara itu. Jibril a.s. bertanya kepada Allah tentang cara
menyelesaikan persoalan ini, karena kedua belah pihak punya alasan yang kuat.
Allah pun menurunkan sebuah alat ukur dari langit, dan memerintahkannya untuk
memberi keputusan berdasarkan jarak jasad si penjahat ke kedua kota itu. Jika
ia mati dalam kedaan lebih dekat kepada orang-orang baik, maka nafs-nya akan
naik ke surga. Namun jika ia lebih dekat kepada orang-orang jahat, maka
nafs-nya harus masuk neraka.
Para malaikat setuju untuk taat pada
kehendak Allah, walaupun para malaikat penjaga surga merasa sedih karena harus
kehilangan jiwa seorang manusia yang ingin bertaubat. Mayat penjahat itu hanya
berjarak beberapa langkah dari desa para bandit. Jibril a.s. pun menggelar
pengukurnya, dan menemukan bahwa mayatnya hanya berjarak dua langkah dari
gerbang kampungnya. Ketika Jibril a.s. mengangkat alat ukur dan hendak
menggelarnya ke arah kota tempat orang-orang baik, mendadak—karena
kemahapengampunan Allah—dinding-dinding luar kota itu berdatangan mendekati
mayat si penjahat, sehingga hanya berjarak kurang dari selangkah. Maka diserahkanlah
nafs si penjahat yang bertaubat ke pemeliharaan para malaikat penjaga surga.
Sama
dengan kita. Jika kau benar-benar ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan burukmu,
gantilah teman-temanmu. Yang paling penting, mohonlah kepada Allah untuk
mengubah dirimu. Jangan pernah mengira bahwa engkaulah yang memperbaiki dirimu.
Taubatmu adalah rahmat dari Allah. Demikian pula kemampuanmu untuk
menindaklanjuti taubat itu.(1) Dan, jika engkau ingin menjadi orang baik,
carilah orang-orang yang baik. Jika engkau ingin mencintai Allah, tetaplah
bersama orang-orang yang mencintai-Nya.***
(1) “Barangsiapa
menghendaki (kebaikan bagi dirinya), niscaya dia akan mengambil jalan kepada
Tuhannya. Dan kamu tidak akan mampu menempuh jalan itu, kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.
S. Al-Insaan [76]: 29–30). Lihat juga, “Bagi siapa di antara kamu yang mau
menempuh jalan yang lurus, kamu tidak akan dapat menghendaki (menempuh jalan
itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan Semesta Alam.” (Q. S.
At-Takwiir [81]: 28 –29). –Ed.
Kisah Salman al-Farisi Mencari Kebenaran
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Salman al-Farisi
pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia yang menganut agama
Majusi. Namun dia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Pergolakan batin itulah
yang mendorongnya untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya.
Kisah Salman diceritakan langsung kepada seorang sahabat dan
keluarga dekat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abbas:
Salman dilahirkan dengan nama Persia, Rouzbeh, di kota Kazerun,
Fars, Iran. Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa. Dia adalah orang
terkaya di sana dan memiliki rumah terbesar.
Ayahnya menyayangi dia, melebihi siapa pun.
Seiring waktu berlalu, cintanya kepada Salman semakin kuat dan membuatnya
semakin takut kehilangan Salman. Ayahnya pun menjaga dia di rumah, seperti
penjara.
Ayah Salman memiliki sebuah kebun yang
luas, yang menghasilkan pasokan hasil panen berlimpah. Suatu ketika ayahnya
meminta dia mengerjakan sejumlah tugas di tanahnya. Tugas dari ayahnya itulah
yang menjadi awal pencarian kebenaran.
“Ayahku memiliki areal tanah subur yang
luas. Suatu hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk
pergi ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Dalam
perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya mendengarkan
suara orang-orang shalat di dalamnya. Saya tidak mengetahui bagaimana
orang-orang di luar hidup, karena ayahku membatasiku di dalam rumahnya! Maka
ketika saya melewati orang-orang itu (di gereja) dan mendengarkan suara mereka,
saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan.”
“Ketika saya melihat mereka, saya menyukai
salat mereka dan menjadi tertarik terhadapnya (yakni agama). Saya berkata
(kepada diriku), ‘Sungguh, agama ini lebih baik daripada agama kami’”.
Salman memiliki pemikiran yang terbuka,
bebas dari taklid buta. “Saya tidak meninggalkan mereka sampai matahari
terbenam. Saya tidak pergi ke tanah ayahku.”
Dan ketika pulang, ayahnya bertanya. Salman
pun menceritakan bertemu dengan orang-orang Nasrani dan mengaku tertarik.
Ayahnya terkejut dan berkata: “Anakku, tidak ada kebaikan dalam agama itu.
Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik.”
“Tidak, agama itu lebih baik dari milik
kita,” tegas Salman.
Ayah Salman pun bersedih dan takut Salman
akan meninggalkan agamanya. Jadi dia mengunci Salman di rumah dan merantai
kakinya.
Salman tak kehabisan akan dan mengirimkan
sebuah pesan kepada penganut Nasrani, meminta mereka mengabarkan jika ada
kafilah pedagang yang pergi ke Suriah. Setelah informasi didapat, Salman pun
membuka rantai dan kabur untuk bergabung dengan rombongan kafilah.
Ketika tiba di Suriah, dia meminta
dikenalkan dengan seorang pendeta di gereja. Dia berkata: “Saya ingin menjadi
seorang Nasrani dan memberikan diri saya untuk melayani, belajar dari anda, dan
salat dengan anda.”
Sang pendeta menyetujui dan Salman pun
masuk ke dalam gereja. Namun tak lama kemudian, Salman menemukan kenyataan
bahwa sang pendeta adalah seorang yang korup. Dia memerintahkan para jemaah
untuk bersedekah, namun ternyata hasil sedekah itu ditimbunnya untuk memperkaya
diri sendiri.
Ketika pendeta itu meninggal dunia dan umat
Nasrani berkumpul untuk menguburkannya, Salman mengatakan bahwa pendeta itu
korup dan menunjukkan bukti-bukti timbunan emas dan perak pada tujuh guci yang
dikumpulkan dari sedekah para jemaah.
Setelah pendeta itu wafat, Salman pun pergi
untuk mencari orang saleh lainnya, di Mosul, Nisibis, dan tempat lainnya.
Pendeta yang terakhir berkata kepadanya
bahwa telah datang seorang nabi di tanah Arab, yang memiliki kejujuran, yang
tidak memakan sedekah untuk dirinya sendiri.
Salman pun pergi ke Arab mengikuti para
pedagang dari Bani Kalb, dengan memberikan uang yang dimilikinya. Para pedagang
itu setuju untuk membawa Salman. Namun ketika mereka tiba di Wadi al-Qura
(tempat antara Suriah dan Madinah), para pedagang itu mengingkari janji dan
menjadikan Salman seorang seorang budak, lalu menjual dia kepada seorang
Yahudi.
Singkat cerita, akhirnya Salman dapat
sampai ke Yatsrib (Madinah) dan bertemu dengan rombongan yang baru hijrah dari
Makkah. Salman dibebaskan dengan uang tebusan yang dikumpulkan oleh Rasulullah
SAW dan selanjutnya mendapat bimbingan langsung dari beliau.
Betapa gembira hatinya, kenyataan yang
diterimanya jauh melebihi apa yang dicita-citakannya, dari sekadar ingin
bertemu dan berguru menjadi anugerah pengakuan sebagai muslimin di
tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai saudara.
Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal
adalah karena idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam
Perang Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat
dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel. Pemimpin
pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam Madinah, di mana
penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari dalam kota.
Rasulullah SAW pun meminta masukan dari
sahabat-sahabatnya bagaimana strategi menghadapi mereka. Setelah bermusyawarah
akhirnya saran Salman Al Farisi atau yang biasa dipanggil Abu Abdillah
diterima. Strategi Salman memang belum pernah dikenal oleh bangsa Arab pada
waktu itu. Namun atas ketajaman pertimbangan Rasulullah SAW, saran tersebut
diterima.
Atas saran Salman itulah perang dengan
jumlah pasukan yang tak seimbang dimenangkan kaum Muslimin.
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, Salman
dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga dia wafat.
Diolah dari Wikipedia, The Search for The Truth -by a Man Known
as Salman the Persian karangan Dr Saleh as-Saleh, dan sumber-sumber lainnya.
(jri)
Sumber: ramadan.okezone.com.
Kisah Nabi Ibrahim as
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Nabi Ibrahim adalah
putera Aaazar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aaabir bin
Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh A.S.Ia dilahirkan di sebuah tempat
bernama “Faddam A’ram” dalam kerajaan “Babylon” yang pd waktu itu diperintah
oleh seorang raja bernama “Namrud bin Kan’aan.”
Kerajaan Babylon pd masa itu termasuk kerajaan yang makmur
rakyat hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang mahupun
pandangan serta saranan-saranan yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani
mrk.Akan tetapi tingkatan hidup rohani mrk masih berada di tingkat jahiliyah.
Mrk tidak mengenal Tuhan Pencipta mrk yang telah mengurniakan mrk dengan segala
kenikmatan dan kebahagiaan duniawi. Persembahan mrk adalah patung-patung yang
mrk pahat sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah.
Raja mereka Namrud bin Kan’aan menjalankan tampuk pemerintahnya
dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak.Semua kehendaknya harus terlaksana dan
segala perintahnya merupakan undang-undang yang tidak dpt dilanggar atau di
tawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan kemewahan hidup
yang berlebuh-lebihanyang ia nikmati lama-kelamaan menjadikan ia tidak puas
dengan kedudukannya sebagai raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh
rakyatnya sebagai tuhan. Ia berfikir jika rakyatnya mahu dan rela menyembah
patung-patung yang terbina dari batu yang tidal dpt memberi manfaat dan
mendtgkan kebahagiaan bagi mrk, mengapa bukan dialah yang disembah sebagai
tuhan.Dia yang dpt berbicara, dapat mendengar, dpt berfikir, dpt memimpin mrk,
membawa kemakmuran bagi mrk dan melepaskan dari kesengsaraan dan kesusahan. Dia
yang dpt mengubah orang miskin menjadi kaya dan orang yang hina-dina
diangkatnya menjadi orang mulia. di samping itu semuanya, ia adalah raja yang
berkuasa dan memiliki negara yang besar dan luas.
Di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian buruknya lahir dan
dibesarkanlah Nabi Ibrahim dari seorang ayah yang bekerja sebagai pemahat dan
pedagang patung. Ia sebagai calun Rasul dan pesuruh Allah yang akan membawa
pelita kebenaran kepada kaumnya,jauh-jauh telah diilhami akal sihat dan fikiran
tajam serta kesedaran bahwa apa yang telah diperbuat oleh kaumnya termasuk ayahnya
sendiri adalah perbuat yang sesat yang menandakan kebodohan dan kecetekan
fikiran dan bahwa persembahan kaumnya kepada patung-patung itu adalah perbuatan
mungkar yang harus dibanteras dan diperangi agar mrk kembali kepada persembahan
yang benar ialah persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan pencipta alam
semesta ini.
Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling
kota menjajakan patung-patung buatannya namun karena iman dan tauhid yang telah
diilhamkan oleh Tuhan kepadanya ia tidak bersemangat untuk menjajakan brg-brg
itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya kepada calun
pembeli dengan kata-kata:” Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak
berguna ini? “
Nabi Ibrahim Ingin Melihat Bagaimana Makhluk Yang Sudah Mati
Dihidupkan Kembali Oleh Allah
Nabi Ibrahim yang sudah berketetapan hati hendak memerangi
syirik dan persembahan berhala yang berlaku dalam masyarakat kaumnya ingin
lebih dahulu mempertebalkan iman dan keyakinannya, menenteramkan
hatinya serta membersihkannya dari keragu-raguan yang mungkin
esekali mangganggu fikirannya dengan memohon kepada Allah agar diperlihatkan
kepadanya bagaimana Dia menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang sudah
mati.Berserulah ia kepada Allah: ” Ya Tuhanku! Tunjukkanlah kepadaku bagaimana
engkau menghidupkan makhluk-makhluk yang sudah mati.”Allah menjawab seruannya
dengan berfirman:Tidakkah engkau beriman dan percaya kepada kekuasaan-Ku? “Nabi
Ibrahim menjawab:” Betul, wahai Tuhanku, aku telah beriman dan percaya kepada-Mu
dan kepada kekuasaan-Mu, namun aku ingin sekali melihat itu dengan mata kepala
ku sendiri, agar aku mendapat ketenteraman dan ketenangan dan hatiku dan agar
makin menjadi tebal dan kukuh keyakinanku kepada-Mu dan kepada kekuasaan-Mu.”
Allah memperkenankan permohonan Nabi Ibrahim lalu
diperintahkanlah ia menangkap empat ekor burung lalu setelah memperhatikan dan
meneliti bahagian tubuh-tubuh burung itu, memotongnya menjadi berkeping-keping
mencampur-baurkan kemudian tubuh burung yang sudak hancur-luluh dan bercampur-baur
itu diletakkan di atas puncak setiap bukit dari empat bukit yang letaknya
berjauhan satu dari yang lain.
Setelah dikerjakan apa yang telah diisyaratkan oleh Allah itu,
diperintahnyalah Nabi Ibrahim memanggil burung-burung yang sudah terkoyak-koyak
tubuhnya dan terpisah jauh tiap-tiap bahagian tubuh burung dari bahagian yang
lain.
Dengan izin Allah dan kuasa-Nya datanglah berterbangan enpat
ekor burung itu dalam keadaan utuh bernyawa seperti sedia kala begitu mendengar
seruan dan panggilan Nabi Ibrahim kepadanya lalu hinggaplah empat burung yang
hidup kembali itu di depannya, dilihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana
Allah YAng Maha Berkuasa dpt menghidupkan kembali makhluk-Nya yang sudah mati
sebagaimana Dia menciptakannya dari sesuatu yang tidak ada. Dan dengan demikian
tercapailah apa yang diinginkan oleh Nabi Ibrahim untuk mententeramkan hatinya
dan menghilangkan kemungkinan ada keraguan di dalam iman dan keyakinannya,
bahwa kekuasaan dan kehendak Allah tidak ada sesuatu pun di langit atau di bumi
yang dpt menghalangi atau menentangnya dan hanya kata “Kun” yang difirmankan
Oleh-Nya maka terjadilah akan apa yang dikenhendaki ” Fayakun”.
Nabi Ibrahim Berdakwah Kepada Ayah Kandungnya
Aazar, ayah Nabi Ibrahim tidak terkecuali sebagaimana kaumnya
yang lain, bertuhan dan menyembah berhala bah ia adalah pedagang dari
patung-patung yang dibuat dan dipahatnya sendiri dan drpnya orang membeli
patung-patung yang dijadikan persembahan.
Nabi Ibrahim merasa bahwa kewajiban pertama yang harus ia
lakukan sebelum berdakwah kepada orang lain ialah menyedarkan ayah kandungnya
dulu orang yang terdekat kepadanya bahwa kepercayaan dan persembahannya kepada
berhala-berhala itu adalah perbuatan yang sesat dan bodoh.Beliau merasakan
bahawa kebaktian kepada ayahnya mewajibkannya memberi penerangan kepadanya agar
melepaskan kepercayaan yang sesat itu dan mengikutinya beriman kepada Allah
Yang Maha Kuasa.
Dengan sikap yang sopan dan adab yang patut ditunjukkan oleh
seorang anak terhadap orang tuanya dan dengan kata-kata yang halus ia dtg
kepada ayahnya menyampaikan bahwa ia diutuskan oleh Allah sebagai nabi dan
rasul dan bahawa ia telah diilhamkan dengan pengetahuan dan ilmu yang tidak
dimiliki oleh ayahnya. Ia bertanya kepada ayahnya dengan lemah lembut gerangan
apakah yang mendorongnya untuk menyembah berhala seperti lain-lain kaumnya
padahal ia mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak berguna sedikit pun tidak
dpt mendtgkan keuntungan bagi penyembahnya atau mencegah kerugian atau musibah.
Diterangkan pula kepada ayahnya bahwa penyembahan kepada berhala-berhala itu
adalah semata-mata ajaran syaitan yang memang menjadi musuh kepada manusia
sejak Adam diturunkan ke bumi lagi. Ia berseru kepada ayahnya agar merenungkan
dan memikirkan nasihat dan ajakannya berpaling dari berhala-berhala dan kembali
menyembah kepada Allah yang menciptakan manusia dan semua makhluk yang
dihidupkan memberi mrk rezeki dan kenikmatan hidup serta menguasakan bumi
dengan segala isinya kepada manusia.
Aazar menjadi merah mukanya dan melotot matanya mendengar
kata-kata seruan puteranya Nabi Ibrahim yyang ditanggapinya sebagai dosa dan
hal yang kurang patut bahwa puteranya telah berani mengecam dan menghina
kepercayaan ayahnya bahkan mengajakkannya untuk meninggalkan kepercayaan itu
dan menganut kepercayaan dan agama yang ia bawa. Ia tidak menyembunyikan murka
dan marahnya tetapi dinyatakannya dalam kata-kata yang kasar dan dalam maki
hamun seakan-akan tidak ada hunbungan diantara mereka. IA berkata kepada Nabi
Ibrahim dengan nada gusar: ” Hai Ibrahim! Berpalingkah engkau dari kepercayaan
dan persembahanku ? Dan kepercayaan apakah yang engkau berikan kepadaku yang
menganjurkan agar aku mengikutinya? Janganlah engkau membangkitkan amarahku dan
cuba mendurhakaiku.Jika engkau tidak menghentikan penyelewenganmu dari agama
ayahmu tidak engkau hentikan usahamu mengecam dan memburuk-burukkan
persembahanku, maka keluarlah engkau dari rumahku ini. Aku tidak sudi bercampur
denganmu didalam suatu rumah di bawah suatu atap. Pergilah engkau dari mukaku
sebelum aku menimpamu dengan batu dan mencelakakan engkau.”
Nabi Ibrahim menerima kemarahan ayahnya, pengusirannya dan
kata-kata kasarnya dengan sikap tenang, normal selaku anak terhadap ayah seray
berkaat: ” Oh ayahku! Semoga engkau selamat,
aku akan tetap memohonkan ampun bagimu dari Allah dan akan tinggalkan kamu
dengan persembahan selain kepada Allah. Mudah-mudahan aku tidak menjadi orang
yang celaka dan malang dengan doaku utkmu.” Lalu keluarlah Nabi Ibrahim
meninggalkan rumah ayahnya dalam keadaan sedih dan prihati karena tidak
berhasil mengangkatkan ayahnya dari lembah syirik dan kufur.
Nabi Ibrahim
Menghancurkan Berhala-berhala
Kegagalan Nabi Ibrahim dalam usahanya
menyedarkan ayahnya yang tersesat itu sangat menusuk hatinya karena ia sebagai
putera yang baik ingin sekali melihat ayahnya berada dalam jalan yang benar
terangkat dari lembah kesesatan dan syirik namun ia sedar bahwa hidayah itu
adalah di tangan Allah dan bagaimana pun ia ingin dengan sepenuh hatinya agar
ayahnya mendpt hidayah ,bila belum dikehendaki oleh Allah maka sia-sialah
keinginan dan usahanya.
Penolakan ayahnya terhadap dakwahnya dengan
cara yang kasar dan kejam itu tidak sedikit pun mempengaruhi ketetapan hatinya
dan melemahkan semangatnya untuk berjalan terus memberi penerangan kepada
kaumnya untuk menyapu bersih persembahan-persembahan yang bathil dan
kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid dan iman kepada Allah
dan Rasul-Nya
Nabi Ibrahim tidak henti-henti dalam setiap
kesempatan mengajak kaumnya berdialog dan bermujadalah tentang kepercayaan yang
mrk anut dan ajaran yang ia bawa. Dan ternyata bahwa bila mrk sudah tidak
berdaya menilak dan menyanggah alasan-alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan
oleh Nabi Ibrahim tentang kebenaran ajarannya dan kebathilan kepercayaan mrk maka
dalil dan alasan yang usanglah yang mrk kemukakan iaitu bahwa mrk hanya
meneruskan apa yang oleh bapa-bapa dan nenek moyang mrk dilakukan dan sesekali
mrk tidak akan melepaskan kepercayaan dan agama yang telah mrk warisi.
Nabi Ibrahim pd akhirnya merasa tidak
bermanfaat lagi berdebat dan bermujadalah dengan kaumnya yang berkepala batu
dan yang tidak mahu menerima keterangan dan bukti-bukti nyata yang dikemukakan
oleh beliau dan selalu berpegang pada satu-satunya alasan bahwa mrk tidak akan
menyimpang dari cara persembahan nenek moyang mrk, walaupun oleh Nabi Ibrahim
dinyatakan berkali-kali bahwa mrk dan bapa-bapa mrk keliru dan tersesat
mengikuti jejak syaitan dan iblis.
Nabi Ibrahim kemudian merancang akan
membuktikan kepada kaumnya dengan perbuatan yang nyata yang dapat mrk lihat
dengan mata kepala mrk sendiri bahwa berhala-berhala dan patung-patung mrk
betul-betul tidak berguna bagi mrk dan bahkan tidak dapat menyelamatkan dirinya
sendiri.
Adalah sudah menjadi tradisi dan kebiasaan
penduduk kerajaan Babylon bahwa setiap tahun mrk keluar kota beramai-ramai pd
suatu hari raya yang mrk anggap sebagai keramat. Berhari-hari mrk tinggal di
luar kota di suatu padang terbuka, berkhemah dengan membawa bekalan makanan dan
minuman yang cukup. Mrk bersuka ria dan bersenang-senang sambil meninggalkan
kota-kota mrk kosong dan sunyi. Mrk berseru dan mengajak semua penduduk agar
keluar meninggalkan rumah dan turut beramai -ramai menghormati hari-hari suci
itu. Nabi Ibrahim yang juga turut diajak turut serta berlagak berpura-pura
sakit dan diizinkanlah ia tinggal di rumah apalagi mrk merasa khuatir bahwa
penyakit Nabi Ibrahim yang dibuat-buat itu akan menular dan menjalar di
kalangan mrk bila ia turut serta.
” Inilah dia kesempatan yang ku nantikan,”
kata hati Nabi Ibrahim tatkala melihat kota sudah kosong dari penduduknya,
sunyi senyap tidak terdengar kecuali suara burung-burung yang berkicau, suara
daun-daun pohon yang gemerisik ditiup angin kencang. Dengan membawa sebuah
kapak ditangannya ia pergi menuju tempat beribadatan kaumnya yang sudah
ditinggalkan tanpa penjaga, tanpa juru kunci dan hanya deretan patung-patung
yang terlihat diserambi tempat peribadatan itu. Sambil menunjuk kepada semahan
bunga-bunga dan makanan yang berada di setiap kaki patung berkata Nabi Ibrahim,
mengejek:” Mengapa kamu tidak makan makanan yang lazat yang disaljikan bagi
kamu ini? Jawablah aku dan berkata-katalah kamu.”
Kemudian disepak, ditamparlah patung-patung
itu dan dihancurkannya berpotong-potong dengan kapak yang berada di tangannya.
Patung yang besar ditinggalkannya utuh, tidak diganggu yang pada lehernya
dikalungkanlah kapak Nabi Ibrahim itu.
Terperanjat dan terkejutlah para penduduk,
tatkala pulang dari berpesta ria di luar kota dan melihat keadaan
patung-patung, tuhan-tuhan mrk hancur berantakan dan menjadi potongan-potongan
terserak-serak di atas lantai. Bertanyalah satu kepada yang lain dengan nada
hairan dan takjub: “Gerangan siapakah yang telah berani melakukan perbuatan
yang jahat dan keji ini terhadap tuhan-tuhan persembahan mrk ini?” Berkata
salah seorang diantara mrk:” Ada kemungkinan bahwa orang yang selalu
mengolok-olok dan mengejek persembahan kami yang bernama Ibrahim itulah yang
melakukan perbuatan yang berani ini.” Seorang yang lain menambah keterangan
dengan berkata:” Bahkan dialah yang pasti berbuat, karena ia adalah
satu-satunya orang yang tinggal di kota sewaktu kami semua berada di luar
merayakan hari suci dan keramat itu.” Selidik punya selidik, akhirnya terdpt
kepastian yyang tidak diragukan lagi bahwa Ibrahimlah yang merusakkan dan
memusnahkan patung-patung itu. Rakyat kota beramai-ramai membicarakan kejadian
yang dianggap suatu kejadian atau penghinaan yang tidak dpt diampuni terhadap
kepercayaan dan persembahan mrk. Suara marah, jengkel dan kutukan terdengar
dari segala penjuru, yang menuntut agar si pelaku diminta bertanggungjawab
dalam suatu pengadilan terbuka, di mana seluruh rakyat penduduk kota dapat
turut serta menyaksikannya.
Dan memang itulah yang diharapkan oleh Nabi
Ibrahim agar pengadilannya dilakukan secara terbuka di mana semua warga
masyarakat dapat turut menyaksikannya. Karena dengan cara demikian beliau dapat
secara terselubung berdakwah menyerang kepercayaan mrk yang bathil dan sesat
itu, seraya menerangkan kebenaran agama dan kepercayaan yang ia bawa, kalau
diantara yang hadir ada yang masih boleh diharapkan terbuka hatinya bagi iman
dari tauhid yang ia ajarkan dan dakwahkan.
Hari pengadilan ditentukan dan datang
rakyat dari segala pelosok berduyung-duyung mengujungi padang terbuka yang
disediakan bagi sidang pengadilan itu.
Ketika Nabi Ibrahim datang menghadap para
hakim yang akan mengadili ia disambut oleh para hadirin dengan teriakan kutukan
dan cercaan, menandakan sangat gusarnya para penyembah berhala terhadap beliau
yang telah berani menghancurkan persembahan mrk.
Ditanyalah Nabi Ibrahim oleh para hakim:”
Apakah engkau yang melakukan penghancuran dan merusakkan tuhan-tuhan kami?”
Dengan tenang dan sikap dingin, Nabi Ibrahim menjawab:” Patung besar yang
berkalungkan kapak di lehernya itulah yang melakukannya. Cuba tanya saja kepada
patung-patung itu siapakah yang menghancurkannya.” Para hakim penanya terdiam
sejenak seraya melihat yang satu kepada yang lain dan berbisik-bisik,
seakan-akan Ibrahim yang mengandungi ejekan itu. Kemudian berkata si hakim:”
Engkaukan tahu bahwa patung-patung itu tidak dapat bercakap dan berkata mengapa
engkau minta kami bertanya kepadanya?” Tibalah masanya yang memang dinantikan
oleh Nabi Ibrahim,maka sebagai jawapan atas pertanyaan yang terakhir itu beliau
berpidato membentangkan kebathilan persembahan mrk,yang mrk pertahankan
mati-matian, semata-mata hanya karena adat itu adalah warisan nenek-moyang.
Berkata Nabi Ibrahim kepada para hakim itu:” Jika demikian halnya, mengapa kamu
sembah patung-patung itu, yang tidak dapat berkata, tidak dapat melihat dan
tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa manfaat atau menolak mudharat,
bahkan tidak dapat menolong dirinya dari kehancuran dan kebinasaan? Alangkah
bodohnya kamu dengan kepercayaan dan persembahan kamu itu! Tidakkah dapat kamu
berfikir dengan akal yang sihat bahwa persembahan kamu adalah perbuatan yang
keliru yang hanya difahami oleh syaitan. Mengapa kamu tidak menyembah Tuhan
yang menciptakan kamu, menciptakan alam sekeliling kamu dan menguasakan kamu di
atas bumi dengan segala isi dan kekayaan. Alangkah hina dinanya kamu dengan
persembahan kamu itu.”
Setelah selesai Nabi Ibrahim menguraikan
pidatonya iut, para hakim mencetuskan keputusan bahawa Nabi Ibrahim harus
dibakar hidup-hidup sebagai ganjaran atas perbuatannya menghina dan
menghancurkan tuhan-tuhan mrk, maka berserulah para hakim kepada rakyat yang
hadir menyaksikan pengadilan itu:” Bakarlah ia dan belalah tuhan-tuhanmu , jika
kamu benar-benar setia kepadanya.”
Nabi Ibrahim Dibakar
Hidup-hidup
Keputusan mahkamah telah dijatuhakan.Nabi
Ibrahim harus dihukum dengan membakar hidup-hidup dalam api yang besar sebesar
dosa yang telah dilakukan. Persiapan bagi upacara pembakaran yang akan
disaksikan oleh seluruh rakyat sedang diaturkan. Tanah lapang bagi tempat
pembakaran disediakan dan diadakan pengumpulan kayu bakar dengan banyaknya
dimana tiap penduduk secara gotong-royong harus mengambil bahagian membawa kayu
bakar sebanyak yang ia dapat sebagai tanda bakti kepada tuhan-tuhan persembahan
mrk yang telah dihancurkan oleh Nabi Ibrahim.
Berduyun-duyunlah para penduduk dari segala
penjuru kota membawa kayu bakar sebagai sumbangan dan tanda bakti kepada tuhan
mrk. Di antara terdapat para wanita yang hamil dan orang yang sakit yang
membawa sumbangan kayu bakarnya dengan harapan memperolehi barakah dari
tuhan-tuhan mereka dengan menyembuhkan penyakit mereka atau melindungi yang
hamil di kala ia bersalin.
Setelah terkumpul kayu bakar di lanpangan yang disediakan untuk
upacara pembakaran dan tertumpuk serta tersusun laksan sebuah bukit,
berduyun-duyunlah orang datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman atas diri
Nabi Ibrahim. Kayu lalu dibakar dan terbentuklah gunung berapi yang dahsyat
yang sedang berterbangan di atasnya berjatuhan terbakar oleh panasnya wap yang
ditimbulkan oleh api yang menggunung itu. Kemudian dalam keadaan terbelenggu,
Nabi Ibrahim didtgkan dan dari atas sebuah gedung yang tinggi dilemparkanlah ia
kedalam tumpukan kayu yang menyala-nyala itu dengan iringan firman Allah:” Hai
api, menjadilah engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”
Sejak keputusan hukuman dijatuhkan sampai saat ia dilemparkan ke
dalam bukit api yang menyala-nyala itu, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan sikap
tenang dan tawakkal karena iman dan keyakinannya bahwa Allah tidak akan rela
melepaskan hamba pesuruhnya menjadi makanan api dan kurban keganasan
orang-orang kafir musuh Allah. Dan memang demikianlah apa yang terjadi tatkala
ia berada dalam perut bukit api yang dahsyat itu ia merasa dingin sesuai dengan
seruan Allah Pelindungnya dan hanya tali temali dan rantai yang mengikat tangan
dan kakinya yang terbakar hangus, sedang tubuh dan pakaian yang terlekat pada
tubuhnya tetap utuh, tidak sedikit pun tersentuh oleh api, hal mana merupakan
suatu mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada hamba pilihannya, Nabi Ibrahim,
agar dapat melanjutkan penyampaian risalah yang ditugaskan kepadanya kepada
hamba-hamba Allah yang tersesat itu.
Para penonton upacara pembakaran hairan tercenggang tatkala
melihat Nabi Ibrahim keluar dari bukit api yang sudah padam dan menjadi abu itu
dalam keadaan selamat, utuh dengan pakaiannya yang tetap berda seperti biasa,
tidak ada tanda-tanda sentuhan api sedikit jua pun. Mereka bersurai
meninggalkan lapangan dalam keadaan hairan seraya bertanya-tanya pada diri
sendiri dan di antara satu sama lain bagaimana hal yang ajaib itu berlaku,
padahal menurut anggapan mereka dosa Nabi Ibrahim sudah nyata mendurhakai
tuhan-tuhan yang mereka puja dan sembah.Ada sebahagian drp mrk yang dalam hati
kecilnya mulai meragui kebenaran agama mrk namun tidak berani melahirkan rasa
ragu-ragunya itu kepada orang lain, sedang para pemuka dan para pemimpin mrk
merasa kecewa dan malu, karena hukuman yang mrk jatuhkan ke atas diri Nabi
Ibrahim dan kesibukan rakyat mengumpulkan kayu bakar selama berminggu-minggu
telah berakhir dengan kegagalan, sehingga mrk merasa malu kepada Nabi Ibrahim
dan para pengikutnya.
Mukjizat yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi Ibrahim
sebagai bukti nyata akan kebenaran dakwahnya, telah menimbulkan kegoncangan
dalam kepercayaan sebahagian penduduk terhadap persembahan dan patung-patung
mrk dan membuka mata hati banyak drp mrk untuk memikirkan kembali ajakan Nabi
Ibrahim dan dakwahnya, bahkan tidak kurang drp mrk yang ingin menyatakan
imannya kepada Nabi Ibrahim, namun khuatir akan mendapat kesukaran dalam
penghidupannya akibat kemarahan dan balas dendam para pemuka dan para
pembesarnya yang mungkin akan menjadi hilang akal bila merasakan bahwa
pengaruhnya telah bealih ke pihak Nabi Ibrahim.
Sumber: yudhim.blogspot.com.
Pintu Sorga
Posted
on 31
Oktober 2009 by Salik
Paramartha
Zaman dahulu adalah
seorang lelaki yang baik hatinya. Ia telah menjalani hidupnya dengan melakukan
segala hal yang memungkinkan orang masuk sorga. Ia memberi harta kepada si miskin, ia mencintai
sesamanya, dan ia mengabdi kepada mereka. Karena mengingat pentingnya
kesabaran, ia senantiasa bertahan terhadap kesulitan yang besar dan tak
diduga-duga, sering itu semua demi kebahagiaan orang lain. Iapun mengadakan
perjalanan jauh-jauh untuk mendapatkan pengetahuan. Kerendahhatian dan
perilakunya yang pantas ditiru begitu dikenal sehingga ia dipuji-puji sebagai
seorang yang bijaksana dan warga yang baik; pujian itu terdengar mulai dari
Timur sampai ke Barat, Utara sampai ke Selatan.
Segala kebaikan itu memang dijalankan
selama ia ingat melakukannya. Namun ia memiliki kekurangan, yakni kurang
perhatian. Kecenderungan itu memang tidak berat, dan ditimbang dengan
kebaikannya yang lain, hal itu merupakan cacat kecil saja. Ada beberapa orang
miskin yang tak tertolongnya, sebab selalu saja ia kurang memperhatikan
kebutuhan mereka itu. Kasih sayang dan pengabdian pun kadang-kadang terlupakan
apabila yang dipikirkannya sebagai kebutuhan pribadi muncul dalam dirinya.
Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang
kalau ia sedang tidur, kesempatan mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya,
atau melaksanakan kerendahhatian, atau menambah jumlah tindakannya yang terpuji
kesempatan semacam itu lenyap begitu saja, tak akan kembali lagi.
Wataknya yang baik meninggalkan bekas pada
dirinya; begitu juga halnya dengan wataknya yang buruk, yakni kurangnya
perhatian itu.
Dan kemudian ia meninggal. Menyadari
dirinya berada di balik kehidupan ini, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu
Taman Berpagar, orang itu istirahat sejenak. Ia mendengarkan kata-hatinya. Dan
ia merasa bahwa kesempatannya memasuki Gerbang Agung itu cukup besar.
Disaksikannya gerbang itu tertutup; dan
kemudian terdengar suara berkata kepadanya, “Siagalah selalu; sebab gerbang
hanya terbuka sekali dalam seratus tahun.” Ia pun duduk menunggu, gembira
membayangkan apa yang akan terjadi. Namun, jauh dari kemungkinan untuk
menunjukkan kebaikan terhadap manusia, ternyata ia menyadari bahwa kemampuannya
untuk memperhatikan tidak cukup pada dirinya. Setelah siaga terus selama waktu
yang rasanya sudah seabad kepalanya terkantuk-kantuk. Segera saja pelupuk
matanya tertutup. Dan pada saat yang sekejap itu, gerbangpun terbuka. Sebelum
mata si lelaki itu terbuka sepenuhnya kembali, gerbang itupun tertutup: dengan
suara menggelegar yang cukup dahsyat untuk membangunkan orang-orang mati.
Catatan :
Kisah ini merupakan bahan pelajaran darwis
yang disenangi; kadang-kadang disebut “Parabel Tentang Kurangnya Perhatian,”
Meskipun terkenal sebagai kisah rakyat, asal-usulnya tak diketahui. Beberapa
orang menganggapnya ciptaan Hadrat Ali, Kalifah Keempat. Yang lain mengatakan
bahwa kisah itu begitu penting, sehingga tentunya diucapkan sendiri oleh Nabi,
secara rahasia. Jelas kisah ini tidak terdapat dalam Hadits Nabi.
Bentuk sastra yang kita pilih ini berasal
dari seorang darwis tak dikenal dari abad ketujuh belas, Amil Baba, yang
naskah-naskahnya menekankan bahwa “pengarang sejati adalah orang yang karyanya
tak bernama (anonim), sebab dengan cara itu tak ada yang berdiri antara pelajar
dan yang dipelajarinya.”
Sumber: heryc.blogspot.com.
Cinta Bagai Anggur
Posted on 31
Oktober 2009 by Murid
Kadisiyyah
Buku Cinta
Bagai Anggur terdiri
dari sebelas bab yang mengulas tentang tashawwuf, cinta, keyakinan, pendidikan
sufi, sampai pada masalah godaan dan kepemurahan. Semuanya
merupakan topik-topik penting dalam jalan Islam dan tashawwuf, yang akan
menjadi pembahasan yang sangat sulit dan membosankan seandainya semua itu
diterangkan melalui teori dan definisi.
Melalui lisan Syaikh Muzaffer Ozak,
pembahasan itu menjelma menjadi kisah-kisah teladan yang sangat indah dan
begitu menyentuh, sehingga siapa pun, bahkan mereka yang baru mulai belajar
tentang Islam, akan mampu menangkap seperti apa esensi dari istilah-istilah
seperti “pendidikan sufi”, “pengetahuan diri”, “Al-Qur’anul Karim’” dan
semacamnya. Seluruh kisah dalam buku ini merupakan tradisi lisan yang terus
diriwayatkan turun-temurun dari seorang guru sufi kepada para muridnya, dan
telah berlangsung sepanjang ratusan tahun lamanya.
Disalin dari Back Cover:
PADA tahun 1980, Dr. Robert Frager, Ph.D untuk pertama kalinya bertemu denganSyaikh Muzaffer Ozak,
pimpinan Tarekat Halveti-Jerrahi dari Turki. Ia, sebagai pendiri dan direktur
Institute of Transpersonal Psychology di California Utara, ketika itu
mengundang beliau sebagai pembicara di universitasnya.
Frager dan seluruh mahasiswanya, serta seluruh hadirin, dibuat
takjub dan terpaku dengan narasi Sang Syaikh yang terasa begitu intens dan
dalam. Bukan pembahasan akademis-teoretik tentang Islam dan tashawwuf yang
membuat mereka diam terpaku, melainkan tuangan kisah hikmah yang digunakan
Syaikh untuk menjelaskan hakikat-hakikat agama dan kehidupan kepada audiens.
Kata Frager, hidupnya pasti akan berubah seandainya saja ia
dapat mengingat semua kisah itu. Sebagai jawaban, Syaikh menatapnya begitu
dalam dan berkata padanya dengan penuh kesungguhan: “Anda tidak akan pernah bisa
melupakannya.”
Buku ini merupakan kumpulan kisah-kisah Syaikh Muzaffer yang
begitu memesona para pendengarnya, selama kunjungan rutinnya ke Amerika.
Fragerlah—ia memang tidak bisa lupa dengan kisah-kisah itu—yang kemudian
mengompilasinya setelah ia sendiri akhirnya memeluk Islam.
Buku ini bukan hanya ditujukan hanya bagi
kaum muslim maupun para peminat tashawwuf. Meski kisahnya mengandung
elemen-elemen sufisme, namun hikmah yang dikandungnya sungguh-sungguh indah dan
dalam, sehingga menyentuh jati diri kemanusiaan kita.
Pustaka Prabajati mempersembahkan buku ini
dengan harapan agar pembaca turut mengalami sendiri intensitas dari narasi
Syaikh Muzaffer, dan juga memperoleh hikmah yang—sebagaimana kata beliau pada
Robert Frager—“Anda tidak akan pernah bisa melupakannya.” []
Keterangan Detail:
Judul: Cinta Bagai Anggur: Tuangan Hikmah
Dari Seorang Guru Sufi di Amerika.
Karya: Syaikh Muzaffer Ozak, dikompilasikan oleh Syaikh Ragip Frager
Alih bahasa: Nadia Dwi Insani, Herry Mardian, Herman Soetomo
Penerbit: Pustaka Prabajati
17 x 23 cm, 202 hal.
ISBN: 978-979-15115-0-6
Harga: Rp. 48.000,-
Karya: Syaikh Muzaffer Ozak, dikompilasikan oleh Syaikh Ragip Frager
Alih bahasa: Nadia Dwi Insani, Herry Mardian, Herman Soetomo
Penerbit: Pustaka Prabajati
17 x 23 cm, 202 hal.
ISBN: 978-979-15115-0-6
Harga: Rp. 48.000,-
Buku ini dapat dipesan
melalui:
Irene Rosnovian (022)730-19-19,
+62-812-2325-192.
irene.husni2 [at] gmail [dot] com
irene.husni2 [at] gmail [dot] com
Avan Noer (021)7076-5799, 0812-902-3152
avan [at] iss [dot] co [dot] id
avan [at] iss [dot] co [dot] id
Nanang Sobari (Apuy), 0856-240-67-250.
http://tokobukusobari.blogsome.com/
http://tokobukusobari.blogsome.com/
Sumber: suluk.blogsome.com
Guru Sejati dan Muridnya
Posted
on 31
Oktober 2009 by Murid
Kadisiyyah
Bayangkan
ketika Anda mulai berani jujur pada diri sendiri, bahwa kitab suci yang ketika
Anda mencoba membacanya terasa abstrak, acak dan tak terjangkau maknanya. Anda
mulai bertanya-tanya, ketika kitab suci memanggil ‘Wahai orang-orang yang beriman..’, benarkah
Anda termasuk di dalamnya? Apa yang bisa membuktikannya? Dan Anda mulai tidak
lagi merasa yakin bahwa Anda tidak termasuk ke dalam kaum yang disebutkan di
sana, ketika kitab suci berbicara tentang golongan manusia yang tersesat.
Maka Anda pun mulai mencari panutan, orang
yang dapat Anda jadikan pembimbing kehidupan Anda. Mulailah Anda mengikuti
pengajian ini dan itu. Memaksakan diri untuk meraih serpihan makna yang mungkin
terserak di dalamnya. Tapi ternyata, setelah sekian lama, Anda tidak juga
memperolehnya.
Buku “Guru Sejati dan Muridnya” merupakan
salinan dari kata-kata seorang Mursyid Sejati dari Sri Lanka, Bawa
Muhaiyaddeen. Bagi Anda yang beruntung, yang telah dipertemukan
Allah dengan seorang mursyid hakiki dalam kehidupan, buku ini akan membantu
Anda dalam memahami fenomena-fenomena yang muncul dalam pembimbingan seorang
mursyid terhadap murid-muridnya. Dan bagi Anda yang belum memilikinya, ataupun
berharap suatu saat Allah mempertemukan Anda dengan seorang mursyid sejati,
maka buku ini dapat menjawab keingintahuan Anda mengenai apa yang terjadi di
seputar interaksi antara seorang Guru Sejati dengan murid-muridnya.
BERIKUT kutipan Visi Buku “Guru Sejati dan Muridnya“,
sebagaimana tertulis dalam bukunya:
“…Buku ini langka karena di masa ini cukup
sulit bagi kita untuk mendapatkan literatur konkrit tentang cara seorang
Mursyid sejati dalam memberikan bimbingan kepada para muridnya, dengan muatan
yang mampu menggambarkan interaksi mereka dengan baik. Umumnya literatur yang
tersedia dalam mengulas hal tersebut, biasanya ada dalam konteks masa Islam
klasik, dengan gaya bahasa maupun istilah yang tidak mudah dipahami oleh
pembaca umum. Kadang bimbingannya ditulis dalam bentuk hikayat. Selain itu,
karena perbedaan masa yang terpaut jauh dengan masa kita sekarang, biasanya
buku-buku tersebut memerlukan interpretasi yang lebih dalam lagi untuk bisa
diturunkan dalam level kehidupan kita sehari-hari di masa kini.
Ketiadaan hal-hal tersebut justru
menjadikan buku ini unik karena tidak ada pembicaraan mengenai teori dan dalil.
Buku ini juga tidak membicarakan siksa yang harus Anda terima kelak bila tidak
melakukan ini dan itu, juga tidak membicarakan kisah para sufi di masa lalu
yang tampak tidak lazim, yang sulit kita hubungkan dengan kehidupan di masa
kita sekarang.
Buku ini merupakan rekaman interaksi dan bimbingan
seorang Mursyid sejati yang memberikan pengajaran kepada murid-muridnya di abad
ke-20, tidak jauh dari masa kita sekarang. Murid-muridnya pun terdiri dari
kalangan bangsa Amerika dan Eropa, yang sedikit banyak mempunyai pola pikir dan
pola budaya yang masih memiliki sekian kadar kesamaan dengan kita, sehingga
mudah untuk ditempatkan dalam konteks kehidupan kita sekarang. Bahasa yang
disampaikan adalah bahasa nasihat, sebuah rekaman dialog seorang guru kepada
murid-muridnya di dalam sebuah forum kecil.
Bakat yang paling istimewa dari seorang Bawa Muhaiyaddeen adalah
kemampuannya untuk memudahkan murid-muridnya dalam memahami esensi.
Konsep-konsep spiritual yang beliau sampaikan, sebenarnya adalah konsep yang
rumit dan sangat dalam jika disampaikan dalam istilah maupun bahasa sufisme
klasik. Akan tetapi, beliau mampu menyempaikannya dengan bahasa yang lugas dan
amat sederhana, disertai contoh dan kisah yang teramat mudah dipahami.
Sedemikian sederhana dan mudahnya, hingga semua bahasan mendalam dan teoretik
dari para sufi klasik itu menjelma menjadi seakan-akan hanyalah sebuah nasihat
biasa. Padahal, esensi yang beliau sampaikan dibandingkan dengan esensi yang
diajarkan para sufi klasik melalui pembahasan yang tampak rumit, sebenarnya
adalah sama.
Bawa Muhaiyaddeen tidak mendidik muridnya untuk menjadi
Islamolog maupun pengkaji tasawuf yang hafal pelbagai istilah rumit, dan
menjadikan para muridnya menang dalam setiap perdebatan ilmiah. Yang Bawa
lakukan adalah mendidik para muridnya untuk hidup dan ‘bernafas’ dalam
teori-teori tersebut sehingga esensinya mampu ditangkap oleh murid-muridnya.
Kami kira, analogi yang baik untuk Beliau adalah, ia tidak mengajarkan teori
tentang laut kepada ikan-ikan. Ia mengajarkan ikan-ikan untuk hidup dengan
benar di dalam laut, dengan tetap membawa jati dirinya masing-masing.
Hal yang luar biasa, adalah fakta bahwa beliau seorang muslim
buta huruf sederhana, yang melewatkan sebagian besar hidupnya di dalam
hutan-hutan di Sri Lanka. Akan tetapi kedalaman ilmunya membuatnya kemudian
dikenal masyarakat di Amerika sehingga Beliau dibawa ke negeri mereka untuk
menjadi pembimbingnya di sana. Sangat menarik melihat murid-muridnya—yang
sebagian besar merupakan masyarakat kulit putih dengan tingkat pendidikan yang
tinggi—menerima pengajaran dari seorang yang biasa hidup bersahaja di pedalaman
hutan Sri Lanka. …”
Buku “Guru
Sejati dan Muridnya” dapat
dipesan melalui:
Irene Rosnovian (022)730-19-19, +62-812-2325-192.
irene.husni2 [at] gmail [dot] com
irene.husni2 [at] gmail [dot] com
Avan Noer (021)7076-5799, 0812-902-3152
avan [at] iss [dot] co [dot] id
avan [at] iss [dot] co [dot] id
Nanang Sobari (Apuy), 0856-240-67-250.
http://tokobukusobari.blogsome.com/
http://tokobukusobari.blogsome.com/
Kisah Nabi Isa as. Dan tiga potong roti
10:01 AM | Posted by Dedi
Haryono
Di
kisahkan, pada suatu ketika Nabi Isa as. Bersama seorang yang mengawaninya
dalam perantauan telah ditimpa kelaparan dan keduanya mengunjungi sebuah desa
dari desa-desa yang ada. Dan tibalah sang kawan dengan membawa tiga potong
roti. Namun ia ketika menemui Al Masih, beliau sedang sholat dan ia merasa lama
kalau harus menunggu. Iapun makan sepotong roti dan telah diketahui oleh Al
Masih bahwa roti yang
dibawa ada tiga. Setelah selesai sholat, Al Masih menanyakan tentang roti yang ia bawa? Iapun menjawab tidak ada selain dua potong roti ini. Maka diamlah Al Masih. Kemudian beliau melihat sebuah sungai, sambil memegang tangan orang itu mereka berjalan bersama diatas air, melihat pemandangan yang luar biasa tersebut, orang itupun mengucapkan:
Subhanallah maha suci Engkau ya Allah yang tiada memberi mukjizat kecuali pada orang-orang pilihan. Maka berkatalah Al Masih: Demi Allah yang telah memperlihatkan kepadamu, dimanakah sepotong roti itu? Orang itu menjawab: Tidak ada, hanya dua potong roti ini saja. Maka selanjutnya berjalanlah keduanya, sehingga sudah sampai ke sebuah negeri yang sudah hancur. Terlihat di dalam sebuah lubang yang terbuka tiga keping emas. Lalu orang itu bertanya: apakah ini emas? Al Masih menjawab: benar, ini adalah logam dari emas dan aku akan memberikan semuanya untuk anda.
Lalu pergilah Al Masih dan tinggallah orang itu ditempatnya dengan kegembiraan karena telah mendapatkan emas itu. Pada suatu saat, lalu ia di kunjungi oleh tiga orang dan tiba-tiba membunuhnya serta merampas emas dari tangannya. Kemudian Si pembunuh, ketiganya bersepakat, bahwa salah satu dari mereka agar ada yang pergi mencari makanan ke sebuah desa. Kedua orang yang tinggal dan menjaga emas itu, kemudian berencana dan sepakat untuk membunuh temannya yang mencari makanan dan membagi harta karun itu menjadi dua bagian. Akan tetapi sebaliknya, orang yang pergi membawa makanan juga berfikir untuk membunuh keduanya dengan cara menaruh racun pada makanan yang ia bawa, agar emas itu dapat dikuasainya sendiri. Lalu iapun meletakkan racun pada makanan itu. Ketika ia sampai dengan mambawa makanan ke tempat kedua temannya yang sedang menunggui emas, maka oleh kedua orang temannya yang sudah menunggu, langsung di bunuhlah si teman pembawa makanan tersebut. Setelah temannya mati, keduanya merasa aman dan kemudian keduanya makan dari makanan yang telah dibubuhi racun oleh temannya yang bunuh tersebut, akhirnya setelah makan, matilah keduanya.
Pada saat Al Masih kembali beliau melihat kesemuanya berbaring dalam keadaan mati, lalu beliau mengucapkan: Demikianlah dunia ini membunuh pecinta-pecintanya. (Wallahua’lamu bisshowab)
dibawa ada tiga. Setelah selesai sholat, Al Masih menanyakan tentang roti yang ia bawa? Iapun menjawab tidak ada selain dua potong roti ini. Maka diamlah Al Masih. Kemudian beliau melihat sebuah sungai, sambil memegang tangan orang itu mereka berjalan bersama diatas air, melihat pemandangan yang luar biasa tersebut, orang itupun mengucapkan:
Subhanallah maha suci Engkau ya Allah yang tiada memberi mukjizat kecuali pada orang-orang pilihan. Maka berkatalah Al Masih: Demi Allah yang telah memperlihatkan kepadamu, dimanakah sepotong roti itu? Orang itu menjawab: Tidak ada, hanya dua potong roti ini saja. Maka selanjutnya berjalanlah keduanya, sehingga sudah sampai ke sebuah negeri yang sudah hancur. Terlihat di dalam sebuah lubang yang terbuka tiga keping emas. Lalu orang itu bertanya: apakah ini emas? Al Masih menjawab: benar, ini adalah logam dari emas dan aku akan memberikan semuanya untuk anda.
Lalu pergilah Al Masih dan tinggallah orang itu ditempatnya dengan kegembiraan karena telah mendapatkan emas itu. Pada suatu saat, lalu ia di kunjungi oleh tiga orang dan tiba-tiba membunuhnya serta merampas emas dari tangannya. Kemudian Si pembunuh, ketiganya bersepakat, bahwa salah satu dari mereka agar ada yang pergi mencari makanan ke sebuah desa. Kedua orang yang tinggal dan menjaga emas itu, kemudian berencana dan sepakat untuk membunuh temannya yang mencari makanan dan membagi harta karun itu menjadi dua bagian. Akan tetapi sebaliknya, orang yang pergi membawa makanan juga berfikir untuk membunuh keduanya dengan cara menaruh racun pada makanan yang ia bawa, agar emas itu dapat dikuasainya sendiri. Lalu iapun meletakkan racun pada makanan itu. Ketika ia sampai dengan mambawa makanan ke tempat kedua temannya yang sedang menunggui emas, maka oleh kedua orang temannya yang sudah menunggu, langsung di bunuhlah si teman pembawa makanan tersebut. Setelah temannya mati, keduanya merasa aman dan kemudian keduanya makan dari makanan yang telah dibubuhi racun oleh temannya yang bunuh tersebut, akhirnya setelah makan, matilah keduanya.
Pada saat Al Masih kembali beliau melihat kesemuanya berbaring dalam keadaan mati, lalu beliau mengucapkan: Demikianlah dunia ini membunuh pecinta-pecintanya. (Wallahua’lamu bisshowab)
Labels: kisah sufi
Kesaksian pedagang Yahudi Makkah dan Yahudi penduduk Yatsrib
12:13
AM | Posted by Dedi Haryono
Intisari
riwayat Hakim dari Aisyah ra: Pada malam kelahiran Rasulullah seorang pedagang
Yahudi yang tinggal di Makkah bertanya kpd sekumpulan orang-orang Quraisy:
Apakah ada anak yang lahir di antara kalian pada malam ini? Mereka menjawab:
kami tidak tahu….
Si Yahudi menjelaskan: Pada malam ini lahir Nabi terakhir ummat ini, Ahmad (yang terpuji). Kalau kalian salah, berarti dia lahir di Palestina. Di antara dua pundaknya ada tahi lalat hitam kekuningan. Setelah mereka pulang ke rumah masing-masing, sebahagian mereka mendapat kabar bahwa di malam itu lahir seorang anak dari Abdullah bin Abdul Muthalib yang diberi nama Muhammad.
Keesokan harinya mereka mengabarkan berita tersebut kepada si Yahudi, lalu ia minta bersama-sama melihat bayi tersebut. Saat matanya tertumpu pd tahi lalat (baca: khatam al-nubuwah) di bagian belakang, antara kedua bahunya, tiba-tiba si Yahudi jatuh pingsan. Setelah siuman, orang-orang Quraisy bertanya: Ada apa denganmu, teman? Jawabnya: Kenabian telah hilang dari bani Israel, al-Kitab telah lepas dari tangan mereka….
Tentang kesaksian Yahudi Yatsrib, Ibnu Ishak meriwayatkan dengan nara sumber dari Hassan bin Tsabit: “Saat aku masih kecil, usiaku sekitar tujuh atau delapan tahun masih segar dlm ingatanku, seorang Yahudi berteriak keras di bangunan yang tinggi di Yatsrib (sekarang Madinah): “Hai orang-orang Yahudi…!”
Setelah orang-orang berkumpul, mereka bertanya: “Ada apa, kenapa?“ Jawabnya: “Malam ini telah muncul bintang tanda kelahiran Ahmad.”
Ibnu Ishak bertanya kepada anak Hassan bin Tsabit: “Berapa usia Hassan bin Tsabit saat kedatangan Rasulullah saw ke Madinah?” Dia menjawab: 60 tahun, dan Rasulullah saw di waktu itu 53 tahun.
"ALLAHUMMA SHOLLI 'ALA SAYYIDINA MUHAMMADINIL FATIHI LIMA UGHLIQO WAL KHOTIMI LIMA SABAQO NAN SHIRIL HAQQI BIL HAQQI WAL HADI ILA SHIROOTIKAL MUSTAQIEM WA 'ALA ALIHII HAQQO QODRIHII WA MIQDARIHIL 'ADHIM"
Si Yahudi menjelaskan: Pada malam ini lahir Nabi terakhir ummat ini, Ahmad (yang terpuji). Kalau kalian salah, berarti dia lahir di Palestina. Di antara dua pundaknya ada tahi lalat hitam kekuningan. Setelah mereka pulang ke rumah masing-masing, sebahagian mereka mendapat kabar bahwa di malam itu lahir seorang anak dari Abdullah bin Abdul Muthalib yang diberi nama Muhammad.
Keesokan harinya mereka mengabarkan berita tersebut kepada si Yahudi, lalu ia minta bersama-sama melihat bayi tersebut. Saat matanya tertumpu pd tahi lalat (baca: khatam al-nubuwah) di bagian belakang, antara kedua bahunya, tiba-tiba si Yahudi jatuh pingsan. Setelah siuman, orang-orang Quraisy bertanya: Ada apa denganmu, teman? Jawabnya: Kenabian telah hilang dari bani Israel, al-Kitab telah lepas dari tangan mereka….
Tentang kesaksian Yahudi Yatsrib, Ibnu Ishak meriwayatkan dengan nara sumber dari Hassan bin Tsabit: “Saat aku masih kecil, usiaku sekitar tujuh atau delapan tahun masih segar dlm ingatanku, seorang Yahudi berteriak keras di bangunan yang tinggi di Yatsrib (sekarang Madinah): “Hai orang-orang Yahudi…!”
Setelah orang-orang berkumpul, mereka bertanya: “Ada apa, kenapa?“ Jawabnya: “Malam ini telah muncul bintang tanda kelahiran Ahmad.”
Ibnu Ishak bertanya kepada anak Hassan bin Tsabit: “Berapa usia Hassan bin Tsabit saat kedatangan Rasulullah saw ke Madinah?” Dia menjawab: 60 tahun, dan Rasulullah saw di waktu itu 53 tahun.
"ALLAHUMMA SHOLLI 'ALA SAYYIDINA MUHAMMADINIL FATIHI LIMA UGHLIQO WAL KHOTIMI LIMA SABAQO NAN SHIRIL HAQQI BIL HAQQI WAL HADI ILA SHIROOTIKAL MUSTAQIEM WA 'ALA ALIHII HAQQO QODRIHII WA MIQDARIHIL 'ADHIM"
Labels: Keutamaan Nabi
Tiga nasihat
dari burung untuk sang pemburu
10:18 PM | Posted by Dedi
Haryono
Pada
suatu hari, ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata Kepadanya, Aku
tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri kau tiga
nasihat. Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam
genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di
cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal. Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat
yang ketiga itu! Si burung menjawab, Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia.
(Catatan: Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah
seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ke tiga belas)
Sumber: http://musyoma.weebly.com/
Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal. Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat
yang ketiga itu! Si burung menjawab, Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia.
(Catatan: Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah
seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ke tiga belas)
Sumber: http://musyoma.weebly.com/
Labels: kisah sufi
Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung. "Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? " sang Guru bertanya. "Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, " jawab sang murid muda. Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu." Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta. "Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin. "Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru. "Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih meringis. Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. "Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya. "Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?" "Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana . Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya. "Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?" "Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas. "Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah." Si murid terdiam, mendengarkan. "Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu
dalam dadamu itu jadi sebesar danau."
http://hikmah-sufi.blogspot.com/2008/04/guru-sufi-dan-muridnya.html
|
0 comments:
Posting Komentar