Ebook dan latihan Toefl

Kamis, 13 Agustus 2009

Arti Hidup


Arti Hidup


Assalammualaikum wr,wb.
Semua manusia, tanpa terkecuali, pasti akan mati. Bila demikian, lalu apa sebenarnya yang akan dituju manusia di alam dunia ini. Apakah manusia hidup semata-mata hanya untuk bekerja, berumah tangga, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya, atau pun berkeluh kesah dalam kemiskinan ; kemudian ia lalu mati tidak berdaya? Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya api obor yang padam? Atau, apakah manusia yang dilahirkan dalam “k
etiadaan” itu akan mati dalam “ketiadaan” pula? Bila ya, apakah berarti hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka? Tentu tidak demikian. Allah telah berfirman, bahwa manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan abadi di akhirat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sesungguhnya yang dituju oleh semua manusia adalah akhirat! Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, semua manusia pasti akan menuju kesana.
Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia, dan bahwa sesungguhnya kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami ?
(Al-Mu’minun : 115)
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan di biarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban) ?
(Al-Qiyamah : 36)
Sesungguhnya hari kiamat akan datang (dan) Aku merahasiakan (waktunya) agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa yang diusahakannya.
(Thahaaa : 15)
Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.
(Al-Ankabuut : 64)
(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka.
(Yuunus : 70)
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.
(Al-Israa’ : 19)
KEBERADAAN MANUSIA MELALUI SUATU PROSES.
Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap, yaitu dengan melalui suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, ia diciptakan tidak langsung dewasa. Tetapi melalui proses yang bermulai dari bentuk air, lalu menjadi janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi dewasa. Demikian juga dengan tanaman. Dimulai dari biji, kemudian timbul tunas, batang, daun dan seterusnya, sampai akhirnya berbunga atau berbuah.
Yang perlu kita sadari dari fenomena ini ialah, baik atau buruknya kualitas manusia ataupun tumbuhan setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia di dunia, ditenukan sejak mulai berada dalam rahim ibunya. Si calon ibu ini memakan makanan yang bergizi kelak bayinya akan sehat. Kemudian bayi tersebut diberinya makanan yang baik, serta dilindungi keamanannya supaya menjadi anak yang sehat. Selanjutnya, anak ini dilengkapi dengan gizi dan bekal pendidikan yang cukup, disekolahkan yang tinggi, sehingga pada akhirnya ia menjadi Orang.
Tumbuhan pun demikian. Pemeliharaannya dari sejak kecil, diberi pupuk, disiram, disiangi, dilindungi dengan anti hama. Akan menentukan kualitasnya pada saat ia berbunga atau berbuah nanti.
Kualitas manusia di akhirat nanti, akan ditentukan setelah ia melalui proses ujian demi ujian terhadap ketaatannya pada Allah selama hidupnya di dunia.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,
(Al-Baqarah :155)
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan(yang ssebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.
(Al-Ambiyaa : 35)
Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).
(A’raaf : 168)
Setelah kita memahami apa yang akhirnya akan dituju oleh setiap manusia, serta “kualitas” berasal dari suatu proses, maka yang perlu kita ketahui selanjutnya adalah, apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia. Kesadarab akan hal ini sangat penting. Karena seseorang yang tidak mengetahui untuk apa tujuan hidupnya, maka pastilah ia tidak mengerti siapakah dirinya itu, dan dari mana ia berasal. Akibatnya, ia akan melangkah kearah yang keliru.
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, kehidupan di alam dunia sesungguhnya adalah awal kehidupan bagi manusia. Dan awal kehidupan ini sangat penting, karena bukankah awal yang baik akan membuahkan hasil akhir yang baik pula?
Selanjutnya, dengan memperhatikan fiman-firman Allah diatas, jelaslah bahwa tujuan hidup manusia di dunia, pada hakikatnya adalah untuk mencari/mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Tingakat manusia di akhirat nanti, akan ditentukan oleh sedikit banyaknya bekal yang dibawa dari dunia. Semakin banyak bekalnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Apakah yang dimaksud dengan bekal? Jika untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat kita harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah pahala.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, kehidupan di alam dunia ini adalah arena untuk mengumpulkan pahala bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak pahala yang berhasil kita raih, maka semakin tinggi pula tingkat kita kelak.
Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui
(Al-Baqarah : 103)
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang lalim.
(Ali-Imran : 57)
Abbdullah bin Abbas berkata :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan dunia terdiri atas tiga bagian ; sebagian bagi orang mukmin, sebagian bagi orang munafik, sebagian bagi orang kafir. Maka orang mukmin menyiapkan perbekalan, ong munafik menjadikannya perhiasan, dan orang kafir menjadikannya tempat bersenang-senang.”
Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah kepada manusia apabila ia lulus dari ujian yang dihadapinya. Ujian-ujian ini pada dasarnya terletak pada dua jalur, yaitu jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas. Pada kedua jalur ini, Allah dan Rasul-Nya telah menentukan “aturan main” bagaimana manusia harus bersikap. Misalnya saja dalam hablum-minallah manusia diwajibkan shalat, dan dalam jalur hablum-minannas manusia diwajibkan berbuat baik terhadap sesamanya. Semua “aturan main” ini tertuang lengkap dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.
Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga, dan hati bukan tanpa tujuan. Perlengkapan ini merupakan sarana bagi Allah untuk menguji manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi baik ataupun buruk , ia mampu tetap taat mengikuti “aturan main” yang sudah ditetapkan-Nya atau tidak.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
(Al-Insaan : 2 & 3)
Dan Dia-lah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur
(Al-Mu’minuun : 78)
Supir ugal-ugalan di jalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega yagng picik, ataupun teman/tetangga/saudara yang menyebalkan , ini semua terjadi karena Allah melengkapi kita dengan mata, telinga, dan hati. Oleh karena itu, orang-orang negatife ini harus dipandang sebagai ujian Allah pada kita dalam jalur hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan tuntunan yang diberikan-Nya melalui Rasul-Nya, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila mereka kita hadapi dengan emosi atau nafsu, maka berarti kita gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat pengalaman bijak, Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsu.”
Dengan demikian, dapatlah dimengerti, bahwa semua masalah, baik itu masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas dalam mendirikan shalat), maupun masalah hubungan dengan manusia (misalnya menghadapi orang yang menyebalkan), pada hakikatnya adalah hendak menguji, mampu atau tdak kita bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan Rasulullah saw. Bila kita dapat bertindak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits dengan niat “Lillahi Ta’ala”, maka berarti kita lulus. Sebaliknya, bila masalah itu kita hadapi dengan nafsu, berarti kita telah gagal. Begitulah medan perjalanan yang harus ditempuh manusia dalam menuju surga. Dalam perjalanan itu pasti akan ditemui halangan dan rintangan yang kesemuanya itu merupakan ujian apakah kita mampu mengatasinya atau tidak. Tidak ada seorangpun manusia yang dibiarkan melalui jalan yang tanpa rintangan. Bahkan para kekasih-Nya sendiri, yaitu para nabi-nabi, melewati jalan yang jauh lebih sulit. Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya sendiri ; sementara Nabi Ayub dimusnahkan seluruh harta kekayaannya dan keturunannya, serta terserang penyakit menular yang sangat menjijikan. Sedangkan Nabi Muhammad dilempari kotoran unta dan batu serta diboikot perekonomiannya sehingga beliau dan keluarganya serta para pengikutnya mengalami kelaparan yang amat sangat akibat kekurangan bahan makanan. Namun perlu kita ingat, bila ujian-ujian yang kita alami dala perjalanan hidup ini berhasil kita atasi, maka hal itu akan diperhitungkan Allah sebagai amal saleh, yang kelak akan diganjar dengan pahala. Semakin banyak amal saleh yang kita lakukan, maka akan semakin besar pula peluang kita untuk masuk ke dalam surga. Lihatlah penegasan Allah dalam Al-Qur’an :
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan).
(Al-Baqarah : 214)
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh baik ia laki-laki maupun perempuan sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.
(An-Nisaa : 124)
Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal shaleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.
(Huud : 11)
Dan surga itu diberikan kepada kamu berdasarkan amal yang telah kamu kerjakan.
(Az-Zuhruf : 72)
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
(Al-A’raaf : 42)
Dengan memahami hal tersebut di atas, akan dapat mencegah kita tertipu dan terlena mengikuti emosi atau pikiran negative, sehingga tidak akan menyimpang dari aturan main yang ditetapkan-Nya. Dan insya Allah, kita tidak akan stress ataupun menjadi pedendam.
Sebagaimana telah diketahui, kekuatan manusia yang paling dahsyat dalam mengatasi ujian-ujian Allah adalah hati (kalbu). Oleh karena itu kita harus pandai-pandai merawat hati agar ia tidak menjadi rusak
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(Asy-Syams : 9 - 10)Adapun salah satu kiat untuk menjaga hati, adalah dengan mengendalikan mata. Bila direnungkan, mata pada hakikatnya adalah hanya alat (scanner) yang memasukkan informasi ke dalam hati. Informasi yang masuk ke dalam hati ini, akan menimbulkan kesan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ada seorang penderita penyakit kusta. Bila yang difokuskan oleh mata adalah penyakitnya, maka niscaya hati akan memunculkan kesan jijik. Tetapi bila yang difokuskan oleh mata segi manusiawinya, maka yang timbul adalah rasa iba. Dikisahkan bahwa nabi Isa as, ketika berjalan dengan para muridnya, pernah menemukan bangkai seekor anjing. Para muridnya serentak menutup hidung sambil menunjukan rasa jijiknya. Namun nabi Isa as, tersenyum seolah-olah ia tidak melihat ada bangkai di hadapannya. Beliau berkata, “Coba lihat giginya, betapa putihnya!”
Inti pelajaran yang diberikan nabi Isa as itu ialah, bila mata dapat dikendalikan hanya untuk melihat kejadian dari sudut pandang positif saja, maka niscaya hati tidak akan memunculkan kesan negative.
Jelaslah, bahwa sudut pandang yang kita ambil akan menentukan sikap hati. Ibarat kata pepatah, “Orang yang mengusung mayat tertawa bila bertemu dengan orang yang mengarak pengantin;sementara orang yang mengarak pengantin bersedih bila bertemu dengan orang yang mengusung jenazah.”
Kita dapat menggunakan ilmu nabi Isa as tersebut untuk meredam rasa iri hati yang kadang-kadang  muncul secara spontan ketika mendengar ada teman kita yang lebih sukses atau lebih kaya dari kita. Caranya yaitu dengan tidak memandang pada pangkat atau harta yang dimilikinya, tetapi dengan mengingat kenyataan, bahwa soal rezeki memang dibuat Allah berbeda-beda. Hal ini dilakukan-Nya semata-mata untuk menguji manusia. Ingatlah pesan dari Abdullah bin Mas’ud ra, “Relakanlah hatimu dengan sesuatu yang Allah berikan untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya.”
….Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberika-Nya kepadamu.
(Al-An’aam : 165)
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang yang miskin), supaya (orang-orang yang kaya) berkata:”Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka” (Allah berfirman):”Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)”
(Al-An’aam : 53)
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak darisebagian yang lain.”
(An-Nisaa’ : 32)
Dalam ayat lain, Al-Qur’an dengan sangat tegas melarang kita melirik kesuksesan duniawi yang diperoleh orang lain. Kagumilah seseorang bukan lantaran harta atau pangkat yang dimilikinya, tetapi karena kesucian hati (ketaqwaan) yang berhasil dibangunnya.
“Janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan untuk Kami cobai mereka dengannya.”
(Thaahaa : 131)
“Janganlah kamu sekali-kali menunjukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah terhadap orang-orang yang beriman.”
(Al-Hijr : 88)
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.
(At-Taubah : 55)
Bila kebetulan kita termasuk orang yang dikaruniai banyak harta, mak hendaklah disadari, bahwa harta itu letaknya harus selalu di tangan, jangan biarkan ia menguasai hati. Ingatlah bahwa harta cenderung mengajak pemiliknya untuk membangkang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Nabi Muhammad saw. pun tampaknya sangat menyadari betapa beratnya beban bila dititipi harta yang melimpah. Sikap ini tampak jelas pada perilaku hidupnya yang terkenal sederhana. Pada salah satu haditsnya diriwayatkan :
Rasulullah saw bersabda : Tuhanku telah menawarkan kepadaku untuk menjadikan lapangan di kota Mekah menjadi emas. Aku berkata, “Jangan Engkau jadikan emas wahai Tuhan! Tetapi cukuplah begiku merasa kenyang sehari, lapar sehari. Apabila aku lapar, maka akau dapat mengahdap-Mu, Dan ketika aku kenyang aku dapat bersyukur memuji-Mu.”
HR. Ahmad & Tarmidzi
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu.”
HR. Muslim
Dari uraian terdahulu, tentu kita sekarang mengerti, bahwa kehidupan di dunia ini haruslah dijadikan arena untuk mengumpulkan pahala. Mengumpulkan pahala tidaklah  mudah. Diperlukan perjuangan lahir dan batin untuk melawan godaan nafsu/setan yang menyesatkan. Untungnya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang melengkapi kita dengan “alat” yang dapat memudahkan pengumpulan bekal akhirat ini. Alat yang dimaksud adalah seluruh fasilitas yang kita miliki, yaitu dapat berupa harta benda, keluarga, pekerjaan, dan lain-lain. Fasilitas ini tentu saja tidak dating dengan sendirinya, melainkan kita harus cari dengan gigih.
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.
(Al-Jumu’ah : 10)
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.
(Al-A’raaf : 10)
“Bersegeralah kamu mencari rezeki, dan berusahalah mencari keperluan hidup, maka sesungguhnya berpagi-pagi mencari rezeki itu adalah berkat dan keberuntungan.”
Riwayat Ibnu ‘Ady dari Aisyah
Seluruh fasilitas yang kita miliki, pada hakikatnya adalah hanya sarana untuk kelancaran bertaqwa. Dengan demikian, semakin banyak fasilitas yang kita miliki, maka kualitas taqwa kita pun tentunya harus semakin lebih tinggi.
Dengan memiliki banyak uang misalnya, memudahkan kita untuk bersedekah, menolong orang yang susah, menyantuni anak yatim, membahagiakan orang tua, melaksanakan ibadah haji, dan lain sebagainya.
Keluarga (suami/isteri dan anak)sakinah yang dimilik, itu pun merupakan fasilitas untuk melaksanakan taqwa. Mereka dapat menjadi pelipur lara yang membuat hati menjadi tenteram. Dengan hati yang tenteram tentu akan lebih mudah untuk melaksanakan taqwa.
Jadi jelaslah, fasilitas atau materi yang kita miliki gunanya hanya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan taqwa. Dan sesungguhnya, semua itu dititipkan Allah kepada kita semata-mata sebagai alat untuk meningkatkan ketaqwaan kita saja.
Wassalam, adithya - Myquran.org

0 comments:

Posting Komentar