Kunci-Kunci Rizki
Istighfar dan Taubat
Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah istighfar (memohon ampunan) dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan). Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan:
a. Hakikat istighfar dan taubat.
b. Dalil syar’i bahwa istighfar dan taubat termasuk kunci rizki.
b. Dalil syar’i bahwa istighfar dan taubat termasuk kunci rizki.
A. Hakikat Istighfar dan Taubat
Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan,
“Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya”
“Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya”
Tetapi kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.
<!--[if !vml]--><!--[endif]-->
Para ulama – semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.
Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan: “Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena ke-burukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha mela-kukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menje-laskan: “Para ulama berkata, ‘Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali per-buatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.
Jika taubat itu berkaitan dengan manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika ber-bentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengem-balikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau seje-nisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk mem-balasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.”
Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah “Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah:
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” (Nuh: 10).
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” (Nuh: 10).
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta.
B. Dalil Syar’i Bahwa Istighfar dan Taubat Termasuk Kunci Rizki
Beberapa nash (teks) Al-Qur’an dan Al-Hadits me-nunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah . Di bawah ini beberapa nash dimaksud:
- Apa yang disebutkan Allah tentang Nuh yang berkata kepada kaumnya :
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’.” (Nuh: 10-12).Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut dengan istighfar.
·
- Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan fir-manNya: “Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.”
- Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas radhiallaahu anhu berkata “midraara ” adalah (hujan) yang turun dengan deras.
- Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak. Dalam menafsirkan ayat:Atha’ berkata: “Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian”.
- Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.
- Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata: “Dalam ayat ini, juga disebutkan dalam (surat Hud) adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta ditu-runkannya rizki dan hujan.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata: “Makna-nya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa mentaatiNya niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, mem-banyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu (untuk kalian).”
Demikianlah, dan Amirul mukminin Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah .
Muthrif meriwayatkan dari Asy-Sya’bi: “Bahwasanya Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang ba-nyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, ‘Aku tidak mendengar Anda memohon hujan’. Maka ia menjawab, ‘Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih langit yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan. Lalu beliau membaca ayat:
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.” (Nuh: 10-11).
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.” (Nuh: 10-11).
Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya ketu-runan dan kekeringan kebun-kebun.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bah-wasanya ia berkata: “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Yang lain lagi berkata kepadanya, “Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!” Maka beliau mengatakan kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!”
Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Ar-Rabi’ bin Shabih berkata kepadanya, ‘Banyak orang yang mengadukan bermacam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, ‘Aku tidak mengata-kan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh:
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12).
Allahu Akbar! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-ham-baMu yang pandai beristighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus MakhlukNya.
- Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan tentang seruan Hud kepada kaumnya agar beristighfar.
“Dan (Hud berkata), ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’.” (Hud:52).Al-Hafizh Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan: “Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman:
“Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atas-mu”.Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan. - Ayat yang lain adalah firman Allah:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” (Hud: 3).Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang beristighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firmanNya:”Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu.” Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas adalah, “Ia akan menganugerahi rizki dan kelapangan kepada kalian”.
Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: “Inilah buah dari istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberi kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian.
Dan janji Tuhan Yang Maha Mulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: “Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa beristighfar dan ber-taubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugerahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan”.
- Dalil lain bahwa beristighfar dan taubat adalah di antara kunci-kunci rizki yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ia berkata, Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitan-nya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka”.Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang mem-perbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rizki, yang Memiliki kekuatan akan mem-berikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terdetik dalam hatinya.Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hen-daklah ia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memo-hon ampun), baik dengan ucapan maupun perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada, sekali lagi hendaknya waspada, dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab itu adalah pekerjaan para pendusta.
Beribadah Kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala Sepenuhnya.
Di antara kunci-kunci rizki adalah beribadah kepada Allah sepenuhnya. Saya akan membahas masalah ini
–dengan memohon pertolongan kepada Allah– dari dua hal:
a. Makna beribadah kepada Allah sepenuhnya.
b. Dalil syar’i bahwa beribadah kepada Allah sepenuhnya adalah di antara kunci-kunci rizki.
b. Dalil syar’i bahwa beribadah kepada Allah sepenuhnya adalah di antara kunci-kunci rizki.
A. Makna Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya.
Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimak-sud beribadah sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam. Tetapi yang dimaksud –wallahu a’lam– adalah hendaknya seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu’ dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang Maha Esa, menghadirkan (dalam hati) betapa besar keagungan Allah, benar-benar merasa bahwa ia sedang bermunajat kepada Allah Yang Maha Menguasai dan Maha Menentukan. Yakni beribadah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
“Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kami melihatNya. Jika kamu tidak melihatNya maka se-sungguhnya Dia melihatmu.” [1]
Janganlah engkau termasuk orang-orang yang (ketika beribadah) jasad mereka berada di masjid, sedang hatinya berada di luar masjid.
Menjelaskan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam :
“Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu”. Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, “Maknanya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (berkonsentrasi) untuk beribadah kepada Tuhan-mu”.[2]
“Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu”. Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, “Maknanya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (berkonsentrasi) untuk beribadah kepada Tuhan-mu”.[2]
B. Dalil Syar’i Bahwa Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya Termasuk Kunci Rizki
Ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa beribadah sepenuhnya kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki. Beberapa nash tesebut di antaranya adalah:
- Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, nis-caya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan[3] dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)’.” [4]
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dalam hadits tersebut menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua hadiah, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah Allah mengisi hati orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan berbagai kesibukan, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan kepada manusia. - Hadits riwayat imam Al-Hakim dari Ma’qal bin Yasar Radhiallaahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Tuhan kalian berkata, ‘Wahai anak Adam, beribadah-lah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam!, jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan.”[5]
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang mulia, yang berbicara berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun lebih memenuhi janji daripadaNya, berupa dua jenis pahala bagi orang yang benar-benar ber-ibadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti memenuhi hatinya dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rizki.
Sebagaimana Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam juga memperingatkan akan ancaman Allah kepada orang yang menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan.
Dan semua mengetahui, siapa yang hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya tidak akan didekati oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rizki oleh Yang Maha Memberi rizki dan Maha Perkasa, niscaya ia tidak akan pernah pailit selama-lamanya. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan, niscaya tak seorang pun mampu membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh Yang Maha Perkasa dan Maha Memaksa, niscaya tak seorangpun yang mampu memberinya waktu luang.
[1] Lihat Shahih Muslim, Kitabul Iman, bab Bayanul Iman wal Islam wal Ihsan…., penggalan dari hadits no. 5(9), 1/39.
[2] Murqatul Mafatih, 9/26. Lihat pula Tuhfatul Ahwadzi, di dalamnya disebutkan:
ÊóÝóÑøó Ûú ãöäú ãõåóãøóÇ Êößó áöØóÇ ÚóÊöí.
“Kosongkanlah (hatimu) dari urusan-urusanmu untuk menta’atiKu.” (7/140).
[3] Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan”. Dikhususkan penyebutan kata ‘tangan’, karena pekerjaan itu dilakukan dengan keduanya. (Faidhul Qadir, 2/308).
[4] Al-Musnad, no. 8681, 16/284. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Shifatil Qiyamah, bab no. 2583, 7/140 dan lafazh ini miliknya. Sunan Ibnu Majah, Abwabuuz Zuhd, Al-Hammu bid Dunya, no. 4159, 2/408. Al-Mustadrak ‘Alash Shahihain, Kitabut Tafsir, 2/443. Imam At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib (Jami’ut Tirmidzi, 7/141). Imam Al-Hakim berkata, Ini adalah hadits yang sanadnya shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim”. (Al-Mustadrak, 2/443). Dan ini disepakati oleh Adz-Dzahabu (At-Talkhish, 2/443). Syaikh Al-Albani berkata shahih (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/300. Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/393).
[5] Al-Mustadrak ’Alash Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/326. Imam Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini shahih, tetapi Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya”. (Op. cit. 4/326). Dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhish, 4/326). Syaikh Al-Albani berkata, “Tentang hadits ini, memang seperti dikatakan oleh keduanya”. (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no. 1359, 3/347).
[2] Murqatul Mafatih, 9/26. Lihat pula Tuhfatul Ahwadzi, di dalamnya disebutkan:
ÊóÝóÑøó Ûú ãöäú ãõåóãøóÇ Êößó áöØóÇ ÚóÊöí.
“Kosongkanlah (hatimu) dari urusan-urusanmu untuk menta’atiKu.” (7/140).
[3] Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan”. Dikhususkan penyebutan kata ‘tangan’, karena pekerjaan itu dilakukan dengan keduanya. (Faidhul Qadir, 2/308).
[4] Al-Musnad, no. 8681, 16/284. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Shifatil Qiyamah, bab no. 2583, 7/140 dan lafazh ini miliknya. Sunan Ibnu Majah, Abwabuuz Zuhd, Al-Hammu bid Dunya, no. 4159, 2/408. Al-Mustadrak ‘Alash Shahihain, Kitabut Tafsir, 2/443. Imam At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib (Jami’ut Tirmidzi, 7/141). Imam Al-Hakim berkata, Ini adalah hadits yang sanadnya shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim”. (Al-Mustadrak, 2/443). Dan ini disepakati oleh Adz-Dzahabu (At-Talkhish, 2/443). Syaikh Al-Albani berkata shahih (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/300. Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/393).
[5] Al-Mustadrak ’Alash Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/326. Imam Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini shahih, tetapi Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya”. (Op. cit. 4/326). Dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhish, 4/326). Syaikh Al-Albani berkata, “Tentang hadits ini, memang seperti dikatakan oleh keduanya”. (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no. 1359, 3/347).
Taqwa
Termasuk sebab turunnya rizki adala taqwa. Saya akan membicarakan masalah ini –dengan memohon taufik dari Allah– dalam dua bahasan:
Makna taqwa.
Dalil syar’i bahwa taqwa termasuk kunci rizki.
A. Makna Taqwa
Para ulama Rahimahullaah telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan: “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”.*1[1]
Sedangkan Imam An-Nawawi mendefinisikan taqwa dengan “Mentaati perintah dan laranganNya.” Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah Subhannahu wa Ta’ala .*2[2] Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.”*3[3]
Karena itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan Allah, atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah, atau mengambil dengan kedua tangannya apa yang tidak diridhai Allah, atau berjalan ke tempat yang dikutuk Allah, berarti tidak menjaga dirinya dari dosa.
Jadi, orang yang membangkang perintah Allah serta melakukan apa yang dilarangNya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa.
Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.
B. Dalil Syar’i Bahwa Taqwa Termasuk Kunci Rizki
Beberapa nash yang menunjukkan bahwa taqwa termasuk di antara sebab rizki, Di antaranya:
- Firman Allah:
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3).Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan taqwa akan dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, “Allah akan mengadakan jalan keluar baginya.” Artinya, Allah akan menyelamatkannya –sebagaimana dika-takan Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu – dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat.*4[4] Kedua, “Allah akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” Artinya, Allah akan memberi-nya rizki yang tak pernah ia harapkan dan angankan.*5[5]Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkanNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya,”*6[6]
Alangkah agung dan besar buah taqwa itu! Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu anhu berkata: “Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah:
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya”.*7[7]
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya”.*7[7]
- Ayat lainnya adalah firman Allah:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri”. (Al-A’raf: 96).Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandai-nya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka menda-patkannya dari segala arah.Menafsirkan firman Allah:
“Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah dari langit dan bumi, Abdullah bin Abbas Radhiallaahu anhu mengatakan: “Niscaya Kami lapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan Kami mudahkan bagi mereka untuk mendapatkannya dari segala arah.”*8[8]
Janji Allah yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut terhadap orang-orang beriman dan bertaqwa mengandung beberapa hal, di antaranya:
<!--[if !vml]--><!--[endif]--> | Janji Allah untuk membuka ” Barakaat” (keberkahan) bagi mereka. “Al Barakaat” adalah bentuk jama’ dari ” Al Barakah” Imam Al-Baghawi berkata, Ia berarti mengerjakan sesuatu secara terus menerus*9[9]. Atau seperti kata Imam Al-Khazin, “Tetapnya suatu kebaikan Tuhan atas sesuatu.”*10[10]Jadi, yang dapat disimpulkan dari makna kalimat ” Al barakah ” adalah bahwa apa yang diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka merupakan kebaikan yang terus menerus, tidak ada keburukan atau konsekuensi apa pun atas mereka sesudahnya.Tentang hal ini, Sayid Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Adapun orang-orang beriman maka apa yang dibukakan untuk mereka adalah berupa berkah dan kenikmatan. Dan untuk hal itu, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah, ridha terhadapNya dan mengharapkan karuniaNya. Lalu mereka menggunakannya di jalan kebaikan, bukan jalan keburukan, untuk perbaikan bukan untuk merusak. Sehingga balasan bagi mereka dari Allah adalah ditambahnya berbagai kenikmatan di dunia dan pahala yang baik di akhirat.”*11[11] Syaikh Ibnu Asyur mengungkapkan hal itu dengan ucapannya: “Makna “Al Barakah” adalah kebaikan yang murni yang tidak ada konsekuensinya di akhirat. Dan ini adalah sebaik-baik jenis nikmat.”*12[12] |
<!--[if !vml]--><!--[endif]--> | Kata berkah disebutkan dalam bentuk jama’ sebagai-mana firman Allah: “Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah.” Ayat ini, sebagaimana disebutkan Syaikh Ibnu Asyur untuk menunjukan banyaknya berkah sesuai dengan banyaknya sesuatu yang diberkahi.*13[13] |
<!--[if !vml]--><!--[endif]--> | Allah berfirman: “Berbagai keberkahan dari langit dan bumi”. Menurut Imam Ar-Razi, maksudnya adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan tumbuhnya berbagai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan. Hal ini karena langit adalah laksana ayah, dan bumi laksana Ibu. Dari keduanya diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah .”*14[14] |
- Ayat lainnya adalah firman Allah:
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan pertengah-an. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”. (Al-Ma’idah: 66).Allah Subhannahu wa Ta’ala mengabarkan tentang Ahli Kitab, ‘Bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang ada di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an –demikian seperti dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiallaahu anhu dalam menafsirkan ayat tersebut,*15[15]– niscaya Allah memperbanyak rizki yang diturunkan kepada mereka dari langit dan yang tumbuh untuk mereka dari bumi.*16[16]Syaikh Yahya bin Umar Al-Andalusi berkata: “Allah menghendaki –wallahu a’lam– bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang diturunkan di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, niscaya mereka memakan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Maknanya –wallahu’alam–, niscaya mereka diberi kelapangan dan kesempurnaan nikmat dunia,”*17[17]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Dan sejenis dengan ayat ini adalah firman Allah:
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq:2-3).
“Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan di atas ja-lan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang ba-nyak).” (Al-Jin: 16).
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96).
Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketaqwaan di antara sebab-sebab rizki dan men-janjikan untuk menambahnya bagi orang yang bersyukur.
Allah berfirman:
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku atasmu.” (Ibrahim: 7).*18[18]
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku atasmu.” (Ibrahim: 7).*18[18]
Karena itu, setiap orang yang menginginkan keluasan rizki dan kemakmuran hidup, hendaknya ia menjaga dirinya dari segala dosa. Hendaknya ia menta’ati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Juga hendaknya ia menjaga diri dari yang menyebabkan berhak mendapat siksa, seperti melakukan kemungkaran atau meninggalkan
*1 Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, dari asal kata “æÞì” hal.531.
*2 Tahriru Alfazhit Tanbih, hal.322.
*3 Kitabut Ta’rifat, hal.68.
*4 Tafsir Al-Qurthubi, 18/159. Ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata: “Dia memberi jalan keluar dari setiap apa yang menyesakkan manusia.” (Zadul Masir, 8/291-292. Tafsir Al-Baghawi, 4/357 dan Tafsir Al-Khazin, 7/108).
*5 Zaadul Masir, 8/291-292.
*6 Tafsir Ibnu Katsir, 4/400.
*7 Tafsir Ibnu Katsir, 4/400. Tafsir Ibnu Mas’ud, 2/651.
*8 Tafsir Abu As-Su’ud, 3/253.
*9 Tafsir Al-Baghawi, 2/183.
*10 Tafsir Al-Khazin, 2/266.
*11 Tafsir Al-Manar, 9/25.
*12 Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, 9/22.
*13 Op. Cit., 9/22.
*14 At-Tafsirul Kabir, 12/185. Tafsirul Khazin, 2/266 dan Tafsir At-Tahrir wa Tanwir, 9/22.
*15 Tafsir Ath-Thabari, 10/463, Al-Muharrar Al-Wajiz, 5/152-153, Zadul Masir, 2/395 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/86.
*16 Tafsir Ibnu Katsir, 2/86, dan Fathul Qadir yang di dalamnya dikatakan, “Penyebutan dari atas dan dari bawah (dalam ayat tersebut) adalah untuk menunjukkan puncak kemudahan sebab-sebab rizki bagi mereka, juga untuk menunjukkan banyak dan keaneka ragaman jenisnya.” (2/85), juga Tafsir At-Tahrir wa Tanwir yang di dalamnya disebutkan, “Maksudnya, niscaya mereka diberi rizki dari semua jalan.” (4/254).
*17 Kitabun Nazhar wal Ahkam fi Jami’i Ahwalis Suuq, hal.41.
*18 Tafsir Al-Qurthubi, 6/241.
*2 Tahriru Alfazhit Tanbih, hal.322.
*3 Kitabut Ta’rifat, hal.68.
*4 Tafsir Al-Qurthubi, 18/159. Ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata: “Dia memberi jalan keluar dari setiap apa yang menyesakkan manusia.” (Zadul Masir, 8/291-292. Tafsir Al-Baghawi, 4/357 dan Tafsir Al-Khazin, 7/108).
*5 Zaadul Masir, 8/291-292.
*6 Tafsir Ibnu Katsir, 4/400.
*7 Tafsir Ibnu Katsir, 4/400. Tafsir Ibnu Mas’ud, 2/651.
*8 Tafsir Abu As-Su’ud, 3/253.
*9 Tafsir Al-Baghawi, 2/183.
*10 Tafsir Al-Khazin, 2/266.
*11 Tafsir Al-Manar, 9/25.
*12 Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, 9/22.
*13 Op. Cit., 9/22.
*14 At-Tafsirul Kabir, 12/185. Tafsirul Khazin, 2/266 dan Tafsir At-Tahrir wa Tanwir, 9/22.
*15 Tafsir Ath-Thabari, 10/463, Al-Muharrar Al-Wajiz, 5/152-153, Zadul Masir, 2/395 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/86.
*16 Tafsir Ibnu Katsir, 2/86, dan Fathul Qadir yang di dalamnya dikatakan, “Penyebutan dari atas dan dari bawah (dalam ayat tersebut) adalah untuk menunjukkan puncak kemudahan sebab-sebab rizki bagi mereka, juga untuk menunjukkan banyak dan keaneka ragaman jenisnya.” (2/85), juga Tafsir At-Tahrir wa Tanwir yang di dalamnya disebutkan, “Maksudnya, niscaya mereka diberi rizki dari semua jalan.” (4/254).
*17 Kitabun Nazhar wal Ahkam fi Jami’i Ahwalis Suuq, hal.41.
*18 Tafsir Al-Qurthubi, 6/241.
Bertawakal Kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala
Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan Yang kepadaNya tempat bergantung. Insya Allah kita akan membicarakan hal ini melalui tiga hal:
- Yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.
- Dalil syar’i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki.
- Apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha?
A. Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah
Para ulama-semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata: “Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata.”[1]
Al-Allamah Al-Manawi berkata: “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakkali.”[2]
Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori berkata: “Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah.”[3]
B. Dalil syar’i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Muba-rak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qhudha’i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khatab Radhiallaahu anhu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”[4]
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberiNya rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Se-sungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3).
Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi’ bin Khutsaim me-ngatakan: “(Mencukupkan) diri setiap yang membuat sempit manusia”.[5]
C. Apakah Tawakkal itu Berarti Meninggalkan Usaha?
Sebagian orang mukmin ada yang berkata: “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?”
Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apa pun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa dan Yang kepadanya tem-pat bergantung. Dan sungguh para ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan– telah mem-peringatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: ” Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandai-nya mereka bertawakkal kepada Allah dalam kepergian, ke-datangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pu-lang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.”[6]
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, ‘Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri’. Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku.”
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku.”
Dan beliau bersabda:
“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan se-benar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan se-benar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu be-rangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka men-cari rizki.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata: “Para Sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita”.[7]
Syaikh Abu Hamid berkata: “Barangkali ada yang mengi-ra bahwa makna tawakkal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang di-lemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat me-motong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari’at. Sedangkan syari’at memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat di-peroleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?
Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita kata-kan, “Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya”.
Imam Abul Qosim Al-Qusyairi berkata: “Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan ta-wakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba me-yakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena taqdirNya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.”[8]
Di antara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin Umayah dari ayahnya Radhiallaahu anhu , ia berkata:
“Seseorang berkata kepada Nabisaw , Aku lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?’ Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: ‘Ikat-lah kemudian bertawakkallah’.” [9]
Dan dalam riwayat Al-Qudha’i disebutkan:
“Amr bin Umayah t berkata: ‘Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’ Beliau menjawab, ‘Ikatlah kendaran (unta) mu lalu bertawakkallah’.” [10]
“Amr bin Umayah t berkata: ‘Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’ Beliau menjawab, ‘Ikatlah kendaran (unta) mu lalu bertawakkallah’.” [10]
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata .
[1] Ihya’ Ulumid Din, 4/259.
[2] Faidhul Qadir, 5/311.
[3] Murqatul Mafatih, 9/156.
[4] Al-Musnad, no. 205, 1/243 no. 370, 1/313 no. 373, 1/304. Jami’ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud, bab Fit Tawakkal ‘Alallah, no. 2344, no. 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya; Sunan Ibnu Majah, Abwabuz Zuhd At-Tawakkal wal Yaqin, no. 4216, 2/419. Kitabuz Zuhd oleh Ibnu Al-Mubarak, juz IV, bab At-Tawakkal wat Tawadhu’ no. 559, hal. 196-197. Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabur Raqa’iq, bab Al-Wara’ wat Tawakkal, Dzikrul Akhbar ‘amma Yajibu ‘alal Mar’i min Qath’il Qulubi ‘anil Khala’iqi bi Jami’il ‘Ala’iqi fi Ahwalihi wa Asbabuhi no. 730,2/509. Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318. Musnad Asy-Syihab, Lau Annakum Tatawakkaluna ala’ Allah Haqqa Tawakkulihi, no. 1444, 2/319. Syarhus Sunnah oleh Al-Baghawi, Kitabur Riqaq, bab At-Tawakkal’ala Allah U no. 4108, 14/301. Imam At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini.” (Jami’ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits dengan sanad shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Mustadrak ’Ala Ash-Shahihain, 4/318) Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhis, I4/318). Imam Al-Baghawi berkata, “Ini adalah Hadits hasan” (Syarhus Sunnah, 14/301). Dan sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (Hamisyul Musnad, 1/243). Serta Syaikh Al-Albani menshaihkannya (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no. 310, jilid 1, juz III/12).
[5] Syahrus Sunnah, 14/298.
[6] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/8.
[7] Dinukil dari Fathul Bari, 11/305-306.
[8] Dinukil dari Murqatul Mafatih, 5/157.
[9] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabur Raqa’iq, Bab Al-Wara’ wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar bi Annal Mar’a Yajibu Alaihi Ma’ Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A’dha’Dhidda Qauli Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya. Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab Ma’rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah t, 3/623. Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, ‘Sanad hadits ini jayyid’. (At-Talkhish, 3/623). Al-Hafizh Al-Haitsami juga menyatakan hal senada dalam Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, 10/303. Beliau berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa hadits ini adalah pembawa hadits Shahih Muslim selain Ya’kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-Dhamari, dan dia adalah tsiqah (terpercaya). (Op. cit.,10/303)
[10] Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633,1/368.
[2] Faidhul Qadir, 5/311.
[3] Murqatul Mafatih, 9/156.
[4] Al-Musnad, no. 205, 1/243 no. 370, 1/313 no. 373, 1/304. Jami’ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud, bab Fit Tawakkal ‘Alallah, no. 2344, no. 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya; Sunan Ibnu Majah, Abwabuz Zuhd At-Tawakkal wal Yaqin, no. 4216, 2/419. Kitabuz Zuhd oleh Ibnu Al-Mubarak, juz IV, bab At-Tawakkal wat Tawadhu’ no. 559, hal. 196-197. Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabur Raqa’iq, bab Al-Wara’ wat Tawakkal, Dzikrul Akhbar ‘amma Yajibu ‘alal Mar’i min Qath’il Qulubi ‘anil Khala’iqi bi Jami’il ‘Ala’iqi fi Ahwalihi wa Asbabuhi no. 730,2/509. Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318. Musnad Asy-Syihab, Lau Annakum Tatawakkaluna ala’ Allah Haqqa Tawakkulihi, no. 1444, 2/319. Syarhus Sunnah oleh Al-Baghawi, Kitabur Riqaq, bab At-Tawakkal’ala Allah U no. 4108, 14/301. Imam At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini.” (Jami’ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadits dengan sanad shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Mustadrak ’Ala Ash-Shahihain, 4/318) Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhis, I4/318). Imam Al-Baghawi berkata, “Ini adalah Hadits hasan” (Syarhus Sunnah, 14/301). Dan sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (Hamisyul Musnad, 1/243). Serta Syaikh Al-Albani menshaihkannya (Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah no. 310, jilid 1, juz III/12).
[5] Syahrus Sunnah, 14/298.
[6] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/8.
[7] Dinukil dari Fathul Bari, 11/305-306.
[8] Dinukil dari Murqatul Mafatih, 5/157.
[9] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabur Raqa’iq, Bab Al-Wara’ wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar bi Annal Mar’a Yajibu Alaihi Ma’ Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A’dha’Dhidda Qauli Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya. Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab Ma’rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah t, 3/623. Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, ‘Sanad hadits ini jayyid’. (At-Talkhish, 3/623). Al-Hafizh Al-Haitsami juga menyatakan hal senada dalam Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, 10/303. Beliau berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa hadits ini adalah pembawa hadits Shahih Muslim selain Ya’kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-Dhamari, dan dia adalah tsiqah (terpercaya). (Op. cit.,10/303)
[10] Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633,1/368.
Silaturrahim
Di antara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembi-caraan masalah ini –dengan memohon pertolongan Allah– akan saya bahas melalui empat poin berikut:
A. Makna Silaturrahim
Makna ‘ar-rahim’ adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:‘Ar-rahim secara umum adalah dimaksud-kan untuk para kerabat dekat. Antara mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak.”
Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.
Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian.”[1]
Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para karib kerabat dekat –baik menurut garis keturunan maupun perkawinan– berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka.[2]
B. Dalil Syar’i Bahwa Silaturrahim Ter-masuk Kunci Rizki
Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah Subhannahu wa Ta’ala menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kela-pangan rizki. Di antara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah:
- Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya)[3] maka hen-daknyalah ia menyambung (tali) silaturrahim.” [4] - Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim.” [5]Dalam hadits yang mulia di atas, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan bertambahnya usia.Ini adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh makh-luk Allah yang paling benar dan jujur, yang berbicara berda-sarkan wahyu, Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam . Maka barangsiapa me-nginginkan dua buah di atas hendaknya ia menaburkan be-nihnya, yaitu silaturrahim. Demikianlah, sehingga Imam Al-Bukhari memberi judul untuk kedua hadits itu dengan “Bab Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan Silaturrahim.”[6] Artinya, dengan sebab silaturrahim.[7]
Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiallaahu anhu dalam kitab shahihnya dan beliau memberi judul dengan “Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Banyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyambung Silaturrahim.[8]
- Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda: “Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia.” [9]Dalam hadits yang mulia Ini Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan bahwa silaturrahim ini membuahkan tiga hal, di antaranya adalah ia menjadi sebab banyaknya harta.
- Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , beliau bersabda: “Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim.” [10]Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang jujur dan terpercaya, menjelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki dua sifat; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki.
- Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiallaahu anhu ia berkata:
“Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya dan menyam-bung silaturrahim, niscaya dipanjangkan umurnya dan dibanyakkan rizkinya dan dicintai oleh keluarganya.” [11] - Demikian besarnya pengaruh silaturrahim dalam ber-kembangnya harta benda dan menjauhkan kemiskinan, sam-pai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh silaturrahim, harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka jauh dari kefakiran, karena karunia Allah Subhannahu wa Ta’ala . Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bahwasanya beliau bersabda:
“Sesungguhnya keta’atan yang paling disegerakan pahalanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga suatu keluarga yang ahli maskiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan (kekurangan).” [12]
C. Apa Saja Sarana Untuk Silaturrahim ?
Sebagian orang menyempitkan makna silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari itu. Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat serta (upaya) untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau dengan lainnya.
Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: “Silaturrahim itu bisa dengan harta, dengan memberikan kebutuhan mereka, dengan menolak keburukan dari mereka, dengan wajah yang berseri-seri serta dengan do’a.”
Makna silaturrahim yang lengkap adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan dari segala bentuk kebaikan, serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak dari keburukan sesuai dengan kemampuannya (kepada kerabat dekat).[13]
D. Tata Cara Silaturrahim dengan Para Ahli Maksiat
Sebagian orang salah dalam memahami tata cara silaturrahim dengan para ahli maksiat. Mereka mengira bahwa bersilaturrahim dengan mereka berarti juga mencintai dan menyayangi mereka, bersama-sama duduk dalam satu majelis dengan mereka, makan bersama-sama mereka serta bersikap lembut dengan mereka. Ini adalah tidak benar.
Semua memaklumi bahwa Islam tidak melarang berbuat baik kepada kerabat dekat yang suka berbuat maksiat, bahkan hingga kepada orang-orang kafir. Allah berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan ber-laku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi-mu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8).
Demikian pula sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma’ binti Abu Bakar Radhiallaahu anhu yang menanyakan Rasullah Shallallaahu alaihi wa Salam untuk bersilaturrahmi kepada ibunya yang musyrik. Dalam hadits ini diantaranya disebutkan:
“Aku bertanya, ‘Sesungguhnya ibuku datang dan ia sangat berharap[14], apakah aku harus menyambung (silaturrahim) dengan ibuku?’ Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam menjawab, ‘Ya, sambunglah (silaturrahim) dengan ibumu’.” [15]
Tetapi, itu bukan berarti harus saling mencintai dan menyayangi, duduk-duduk satu majelis dengan mereka. Bersa-ma-sama makan dengan mereka serta bersikap lembut dengan orang-orang kafir dan ahli maksiat tersebut. Allah ber-firman:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang ber-iman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-sudara atau pun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22).
Makna ayat yang mulia ini –sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Razi– adalah bahwasanya tidak akan bertemu antara iman dengan kecintaan kepada musuh-musuh Allah. Karena jika seseorang mencintai orang lain maka tidak mungkin ia akan mencintai musuh orang tersebut.[16]
Dan berdasarkan ayat ini, Imam Malik menyatakan bolehnya memusuhi kelompok Qadariyah dan tidak duduk satu majelis dengan mereka.[17]
Imam Al-Qurthubi mengomentari dasar hukum Imam Malik: “Saya berkata, ‘Termasuk dalam makna kelompok Qadariyah adalah semua orang yang zhalim dan yang suka memusuhi’.”[18]
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia tersebut berkata: “Artinya, mereka tidak saling mencintai dengan orang yang suka menentang (Allah dan RasulNya), bahkan meskipun mereka termasuk kerabat dekat.”[19]
Sebaliknya, silaturrahim dengan mereka adalah dalam upaya untuk menghalangi mereka agar tidak mendekat kepada Neraka dan menjauhi dari Surga. Tetapi, bila kondisi mengisyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan cara memutuskan hubungan dengan mereka, maka pemutusan hubungan tersebut –dalam kondisi demikian– dapat dikategorikan sebagai silaturrahim.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: “Jika mereka itu orang-orang kafir atau suka berbuat dosa maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah adalah (bentuk) silaturrahim dengan mereka. Tapi dengan syarat telah ada usaha untuk menasehati dan memberitahu mereka, dan mereka masih terus membandel. Kemudian, hal itu (pe-mutusan silaturrahim) dilakukan karena mereka tidak mau menerima kebenaran. Meskipun demikian, mereka masih tetap berkewajiban mendo’akan mereka tanpa sepengetahuan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus.[20]
[1]Fathul Bari, 10/414.
[2] Murtqatul Mafatih, 8/645.
[3] Catatan: “Para ahli hadits mengangkat persoalan seputar bertambahnya umur karena silaturrahim dan mereka memberikan jawabannya. Misalnya dalam Fathul Bari disebutkan, Ibnu At-Tin berkata, “Secara lahiriah, hadits itu bertentangan dengan firman Allah:
“Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Al-A’raf: 34).
Untuk mencari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, bahwasanya tambahan (umur) yang dimaksud adalah kinayah dari usia yang diberi berkah karena mendapat taufik untuk menjalankan keta’atan, ia menyibukkan waktunya dengan apa yang bermanfaat di akhirat, serta menjaga dari menyia-nyiakan waktunya untuk hal lain (yang tidak bermanfaat). Kedua, tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Dan itu berkaitan dengan malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat perama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Subhannahu wa Ta’ala Umpamanya dikatakan kepada malaikat, “Sesungguhnya umur fulan adalah 100 tahun jika dia menyambung silaturrahim dan 60 tahun jika ia memutuskannya”. Dalam ilmu Allah telah diketahui bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturrahim. Dan apa yang ada di dalam ilmu Allah itu tidak akan maju atau mundur. Adapun yang ada dalam ilmu malaikat maka hal itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Itulah yang diisyaratkan oleh firman Allah:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39)
Jadi, yang dimaksudkan dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu adalah apa yang ada dalam ilmu malaikat. Sedangkan apa yang ada di dalam Lauh Mahfuzh itu merupakan ilmu Allah, yang tidak akan ada penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al-qadha’ al-mubram (taqdir/putusan yang pasti), sedang yang pertama (dalam ilmu malaikat) disebut al-qadha’ al-mu’allaq (taqdir/putusan yang masih menggantung). (Fathul Bari, 10/416 secara ringkas. Lihat pula, Syarah Nawawi, 16/114, ‘Umdatul Qari, 22/91).
[4] Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no.5985, 10/415.
[5] Op. cit., No. 5986, 10/415.
[6] Op. Cit., 10/415.
[7] Umdatul Qari, 22/91
[8] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Birri wal Ihsan, bab Shilaturrahim wa Qath’iha, 2/180.
[9] Al-Musnad, no. 8855, 17/142. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Birri wash Shilah, Bab Ma Ja’a fi Ta’limin Nasab, no. 2045, 6/96-97, dan lafazh ini miliknya. Al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Kitabul Birr wash Shilah, 4/161. Imam Al-Hakim berkata, “Hadits ini sanadnya shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.” (Op. Cit., 4/161). Hal ini juga disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhis, 4/161). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menyatakan sanadnya shahih. (Hamisyul Musnad, 17/42). Dan ia dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/190).
[10] Al-Musnad, no. 1212, 2/290. Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, Kitabul Birri wash Shilah, bab Shilaturrahim wa Qatha’iha, 8/152-153. Tentang hadits ini, Al-Hafizh Al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath.” Para perawi Al-Bazar adalah perawi-perawi Shahih Muslim, selain Ashim bin Hamzah, dia adalah orang tsiqath (terpercaya). (Op. cit., 8/153). Disebutkan Ashim bin Hamzah, yang benar adalah Ashim bin Dhamrah. Penulisan Hamzah adalah kesalahan cetak. (Hamisyul Musnad, 2/290). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Sanad hadits ini shahih”. (Op. cit., 2/290).
[11] Al-Adabul Mufrad, bab Man Washala Rahimahu Ahabbahu Allah, no.59, hal. 37.
[12] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Birr wal Ihsan, bab Shilaturrahim wa Qath’iha, no. 440, 2/182-183. Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth menshahihkan hadits ini ketika menyebutkan dalil-dalil pada catatan kaki Al-Ihsan. (2/183-184).
[13] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 6/30.
[14] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata. “Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Ia datang kepadaku dalam keadaan penuh harapan dan rasa takut’. Maknanya, bahwa ia datang dengan harapan agar puterinya berbuat baik kepadanya. Dan ia takut jika harapannya ditolak dan tak membawa hasil. Demikian seperti yang diterangkan oleh mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 5/234).
[15] Hadits diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. (Shahihul Bukhari, Kitabul Hibah, bab Al-Hadiyyah lil Musyrikin…., no. 2620, 5/233). Imam Al-Khathabi berkata: “Ini menunjukkan bahwa kerabat dekat yang kafir disambung silaturrahimnya dengan harta atau sejenisnya sebagaimana kaum muslimin disambung silaturrahimnya dengannya.” (Dinukil dari Fathul Bari, 5/234).
[16] At-Tafsirul Kabir, 29/276. Fathul Qadir, 5/272.
[17] Ahkamul Qur’an oleh Ibnul Arabi, 4/1763. Tafsir Al-Qurthubi, 17/307.
[18] Op. cit., 17/307. Lihat pula, Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, 26/80.
[19] Tafsir Ibnu Katsir, 4/347.
[20] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 6/30.
[2] Murtqatul Mafatih, 8/645.
[3] Catatan: “Para ahli hadits mengangkat persoalan seputar bertambahnya umur karena silaturrahim dan mereka memberikan jawabannya. Misalnya dalam Fathul Bari disebutkan, Ibnu At-Tin berkata, “Secara lahiriah, hadits itu bertentangan dengan firman Allah:
“Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Al-A’raf: 34).
Untuk mencari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, bahwasanya tambahan (umur) yang dimaksud adalah kinayah dari usia yang diberi berkah karena mendapat taufik untuk menjalankan keta’atan, ia menyibukkan waktunya dengan apa yang bermanfaat di akhirat, serta menjaga dari menyia-nyiakan waktunya untuk hal lain (yang tidak bermanfaat). Kedua, tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Dan itu berkaitan dengan malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat perama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Subhannahu wa Ta’ala Umpamanya dikatakan kepada malaikat, “Sesungguhnya umur fulan adalah 100 tahun jika dia menyambung silaturrahim dan 60 tahun jika ia memutuskannya”. Dalam ilmu Allah telah diketahui bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturrahim. Dan apa yang ada di dalam ilmu Allah itu tidak akan maju atau mundur. Adapun yang ada dalam ilmu malaikat maka hal itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Itulah yang diisyaratkan oleh firman Allah:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39)
Jadi, yang dimaksudkan dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu adalah apa yang ada dalam ilmu malaikat. Sedangkan apa yang ada di dalam Lauh Mahfuzh itu merupakan ilmu Allah, yang tidak akan ada penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al-qadha’ al-mubram (taqdir/putusan yang pasti), sedang yang pertama (dalam ilmu malaikat) disebut al-qadha’ al-mu’allaq (taqdir/putusan yang masih menggantung). (Fathul Bari, 10/416 secara ringkas. Lihat pula, Syarah Nawawi, 16/114, ‘Umdatul Qari, 22/91).
[4] Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no.5985, 10/415.
[5] Op. cit., No. 5986, 10/415.
[6] Op. Cit., 10/415.
[7] Umdatul Qari, 22/91
[8] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Birri wal Ihsan, bab Shilaturrahim wa Qath’iha, 2/180.
[9] Al-Musnad, no. 8855, 17/142. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Birri wash Shilah, Bab Ma Ja’a fi Ta’limin Nasab, no. 2045, 6/96-97, dan lafazh ini miliknya. Al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Kitabul Birr wash Shilah, 4/161. Imam Al-Hakim berkata, “Hadits ini sanadnya shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.” (Op. Cit., 4/161). Hal ini juga disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhis, 4/161). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menyatakan sanadnya shahih. (Hamisyul Musnad, 17/42). Dan ia dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/190).
[10] Al-Musnad, no. 1212, 2/290. Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, Kitabul Birri wash Shilah, bab Shilaturrahim wa Qatha’iha, 8/152-153. Tentang hadits ini, Al-Hafizh Al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath.” Para perawi Al-Bazar adalah perawi-perawi Shahih Muslim, selain Ashim bin Hamzah, dia adalah orang tsiqath (terpercaya). (Op. cit., 8/153). Disebutkan Ashim bin Hamzah, yang benar adalah Ashim bin Dhamrah. Penulisan Hamzah adalah kesalahan cetak. (Hamisyul Musnad, 2/290). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Sanad hadits ini shahih”. (Op. cit., 2/290).
[11] Al-Adabul Mufrad, bab Man Washala Rahimahu Ahabbahu Allah, no.59, hal. 37.
[12] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Birr wal Ihsan, bab Shilaturrahim wa Qath’iha, no. 440, 2/182-183. Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth menshahihkan hadits ini ketika menyebutkan dalil-dalil pada catatan kaki Al-Ihsan. (2/183-184).
[13] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 6/30.
[14] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata. “Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Ia datang kepadaku dalam keadaan penuh harapan dan rasa takut’. Maknanya, bahwa ia datang dengan harapan agar puterinya berbuat baik kepadanya. Dan ia takut jika harapannya ditolak dan tak membawa hasil. Demikian seperti yang diterangkan oleh mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 5/234).
[15] Hadits diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. (Shahihul Bukhari, Kitabul Hibah, bab Al-Hadiyyah lil Musyrikin…., no. 2620, 5/233). Imam Al-Khathabi berkata: “Ini menunjukkan bahwa kerabat dekat yang kafir disambung silaturrahimnya dengan harta atau sejenisnya sebagaimana kaum muslimin disambung silaturrahimnya dengannya.” (Dinukil dari Fathul Bari, 5/234).
[16] At-Tafsirul Kabir, 29/276. Fathul Qadir, 5/272.
[17] Ahkamul Qur’an oleh Ibnul Arabi, 4/1763. Tafsir Al-Qurthubi, 17/307.
[18] Op. cit., 17/307. Lihat pula, Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, 26/80.
[19] Tafsir Ibnu Katsir, 4/347.
[20] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 6/30.
Berinfak Di Jalan Allah
Di antara kunci-kunci rizki lain adalah berinfak di jalan Allah. Pembahasan masalah ini –dengan memohon taufik dari Allah– akan saya lakukan melalui dua poin berikut:
A. Yang Dimaksud Berinfak
Di tengah-tengah menafsirkan firman Allah:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya”. (Saba’: 39).
Syaikh Ibnu Asyur berkata: “Yang dimaksud dengan infak di sini adalah infak yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfak kepada orang-orang fakir dan berinfak di jalan Allah untuk menolong agama.”[1]
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya”. (Saba’: 39).
Syaikh Ibnu Asyur berkata: “Yang dimaksud dengan infak di sini adalah infak yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfak kepada orang-orang fakir dan berinfak di jalan Allah untuk menolong agama.”[1]
B. Dalil Syar’i Bahwa Berinfak di Jalan Allah Adalah Termasuk Kunci Rizki
Ada beberapa nash dalam Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif yang menunjukkan bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan diganti oleh Allah di dunia. Di samping, tentunya apa yang disediakan oleh Allah baginya dari pahala yang besar di akhirat. Di antara dalil-dalil itu adalah sebagai berikut:
- Firman Allah:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang se-baik-baiknya.” (Saba’: 39).Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Betapapun sedikit apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diperbolehkanNya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits…”[2]Imam Ar-Razi berkata, “Firman Allah: ‘Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya’, adalah realisasi dari sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam : “Tidaklah para hamba berada di pagi hari….” (Al-Hadits). Yang demikian itu karena Allah adalah Penguasa, Maha Tinggi dan Maha Kaya. Maka jika Dia berkata: “Nafkahkanlah dan Aku yang akan menggantinya,’ maka itu sama dengan janji yang pasti ia tepati. Sebagaimana jika Dia berkata: “Lemparkanlah barangmu ke dalam laut dan Aku yang menjaminnya.”
Maka, barangsiapa berinfak berarti dia telah memenuhi syarat untuk mendapatkan ganti. Sebaliknya, siapa yang tidak berinfak maka hartanya akan lenyap dan ia tidak berhak mendapatkan ganti. Hartanya akan hilang tanpa ganti, artinya lenyap begitu saja.
Yang mengherankan, jika seseorang pedagang mengetahui bahwa sebagian dari hartanya akan binasa, ia akan menjualnya dengan cara nasi’ah (pembayaran di belakang), meskipun pembelinya termasuk orang miskin. Lalu ia berkata, hal itu lebih baik daripada pelan-pelan harta itu binasa. Jika ia tidak menjualnya sampai harta itu binasa maka ia akan disalahkan. Dan jika ada orang mampu yang menjamin orang miskin itu, tetapi ia tidak menjualnya (kepada orang tersebut) maka ia disebut orang gila.
Dan sungguh, hampir setiap orang melakukan hal ini, tetapi masing-masing tidak menyadari bahwa hal itu men-dekati gila. Sesungguhnya harta kita semuanya pasti akan binasa. Dan menafkahkan kepada keluarga dan anak-anak adalah berarti memberi pinjaman. Semuanya itu berada dalam jaminan kuat, yaitu Allah Yang Maha Tinggi. Allah berfirman: “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia pasti manggantinya.”
Lalu Allah memberi pinjaman kepada setiap orang, ada yang berupa tanah, kebun, penggilingan, tempat pemandian untuk berobat atau manfaat tertentu. Sebab setiap orang tentu memiliki pekerjaan atau tempat yang daripadanya ia mendapatkan harta. Dan semua itu milik Allah. Di tangan manusia, harta itu adalah pinjaman. Jadi, seakan-akan barang-barang tersebut adalah jaminan yang diberikan Allah dari rizkiNya, agar orang tersebut percaya penuh kepadaNya bahwa bila dia berinfak, Allah pasti akan menggantinya. Tetapi meskipun demikian, ternyata ia tidak mau berinfak dan membiarkan hartanya lenyap begitu saja tanpa mendapat pahala dan disyukuri.[3]
Selain itu, Allah menegaskan janjiNya dalam ayat ini kepada orang yang berinfak untuk menggantinya dengan rizki (lain) melalui tiga penegasan. Dalam hal ini, Ibnu Asyur berkata: “Allah menegaskan janji tersebut dengan kalimat bersyarat, dan dengan menjadikan jawaban dari kali-mat bersyarat itu dalam bentuk jumlah ismiyah dan dengan mendahulukan musnad ilaih (sandaran) terhadap khabar fi’il-nya ( ÇáúÎóÈóÑ ÇáúÝöÚúáöí ) yaitu dalam firmanNya: Ýóåõæó íõÎúáöÝõåõ De-ngan demikian, janji tersebut ditegaskan dengan tiga pene-gasan yang menunjukkan bahwa Allah benar-benar akan me-realisasikan janji itu. Sekaligus menunjukkan bahwa ber-infak adalah sesuatu yang dicintai Allah.[4]
Dan sungguh janji Allah adalah sesuatu yang tegas, ya-kin, pasti dan tidak ada keraguan untuk diwujudkannya, wa-laupun tanpa adanya penegasan seperti di atas. Lalu, bagai-mana halnya jika janji itu ditegaskan dengan tiga penegasan?
- Dalil lain adalah firman Allah: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan ke-miskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 268).Menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu berkata: “Dua hal dari Allah, dan dua hal dari setan. “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan.” Setan itu berkata, ‘Jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya’. “Dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).”
(Dan dua hal dari Allah adalah), “Allah menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya,” yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, “dan karunia” berupa rizki.[5]
Al-Qadhi Ibnu Athiyah menafsirkan ayat ini berkata: “Maghfirah (ampunan Allah) adalah janji Allah bahwa Dia akan menutupi kesalahan segenap hambaNya di dunia dan di akhirat. Sedangkan al-fadhl (karunia) adalah rizki yang luas di dunia, serta pemberian nikmat di akhirat, dengan segala apa yang telah dijanjikan Allah Subhannahu wa Ta’ala .[6]
Imam Ibnu Qayim Al-Jauziyah dalam menafsirkan ayat yang mulia ini berkata: “Demikianlah, peringatan setan bahwa orang yang menginfakkan hartanya, bisa mengalami kefakiran bukanlah suatu bentuk kasih sayang setan kepadanya, juga bukan suatu bentuk nasihat baik untuknya. Adapaun Allah, maka Ia menjanjikan kepada hambaNya ampunan dosa-dosa daripadaNya, serta karunia berupa penggantian yang lebih baik daripada yang ia infakkan, dan ia dilipatgandakanNya baik di dunia saja atau di dunia dan di akhirat.”[7]
- Dalil lain adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam memberitahukan kepadanya:
“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam!, berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadaMu.”[8]Allahu Akbar! Betapa besar jaminan orang yang berinfak di jalan Allah! Betapa mudah dan gampang jalan mendapat-kan rizki! Seorang hamba berinfak di jalan Allah, lalu Dzat Yang di TanganNya kepemilikan segala sesuatu memberi-kan infak (rizki) kepadanya. Jika seorang hamba berinfak sesuai dengan kemampuannya maka Dzat Yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi serta kerajaan segala se-suatu akan memberi infak (rizki) kepadanya sesuai dengan keagungan, kemuliaan dan kekuasaanNya.Imam An-Nawawi berkata: “Firman Allah, ‘Berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadamu’ adalah makna dari firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya.” (Saba’: 39).
Ayat ini mengandung anjuran untuk berinfak dalam berbagai bentuk kebaikan, serta berita gembira bahwa semua itu akan diganti atas karunia Allah Subhannahu wa Ta’ala .[9]
- Dalil lain bahwa berinfak di jalan Allah adalah di antara kunci-kunci rizki yaitu apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Tidaklah para hamba berada di pagi hari kecuali di dalamnya terdapat dua malaikat yang turun. Salah satunya berdo’a, ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak ganti (dari apa yang ia infakkan)’. Sedang yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menahan (hartanya) kebinasaan (hartanya)’.” [10]Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia e mengabarkan bahwa terdapat malaikat yang berdo’a setiap hari kepada orang yang berinfak agar diberikan ganti oleh Allah. Maksudnya –sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari– adalah ganti yang besar. Yakni ganti yang baik, atau ganti di dunia dan ganti di akhirat. Hal itu berdasarkan firman Allah:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya. Dan Dialah sebaik-baik Pemberi rizki.” (Saba’: 39).[11]
Dan diketahui secara umum bahwa do’a malaikat adalah dikabulkan[12], sebab tidaklah mereka mendo’akan bagi seseorang melainkan dengan izinNya. Allah berfirman:
“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadaNya.” (Al-Anbiya’: 28).
“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadaNya.” (Al-Anbiya’: 28).
- Dalil lain adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
“Berinfaklah wahai Bilal! Jangan takut dipersedikit (hartamu) oleh Dzat Yang Memiliki Arsy.” [13]Aduhai, alangkah kuat jaminan dan karunia Allah bagi orang yang berinfak di jalanNya! Apakah Dzat Yang Memiliki Arsy akan menghinakan orang yang berinfak di jalanNya, sehingga ia mati karena miskin dan tak punya apa-apa? Demi Allah, tidak akan demikian!Al-Mulla Ali-AlQari menjelaskan kata ” ÇöÞúáÇó áÇð “dalam hadits tersebut berkata, ‘Maksudnya, dijadikan miskin dan tidak punya apa-apa’. Artinya, ‘Apakah engkau takut akan disia-siakan oleh Dzat Yang Mengatur segala urusan dari langit ke bumi?’ Dengan kata lain, ‘Apakah kamu takut untuk digagalkan cita-citamu dan disedikitkan rizkimu oleh Dzat Yang rahmat-Nya meliputi penduduk langit dan bumi, orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, burung-burung dan binatang melata?’[14] - Berapa banyak bukti-bukti dalam kitab-kitab Sunnah (Hadits), Sirah (Perjalanan Hidup), Tarajum (Biografi), Tarikh (Sejarah), bahkan hingga dalam kenyataan-kenyataan yang kita alami saat ini yang menunjukkan bahwa Allah mengganti rizki hambaNya yang berinfak di jalanNya. Berikut ini kami ringkaskan satu bukti dalam masalah ini. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda:”Ketika seorang laki-laki berada di suatu tanah lapang bumi ini, tiba-tiba ia mendengar suara dari awan, ‘Siramilah kebun si fulan!’ Maka awan itu berarak menjauh dan menuangkan airnya di areal tanah yang penuh de-ngan batu-batu hitam. Di sana ada aliran air yang me-nampung air tersebut. Lalu orang itu mengikuti kemana air itu mengalir. Tiba-tiba ia (melihat) seorang laki-laki yang berdiri di kebunnya. Ia mendorong air tersebut dengan skopnya (ke dalam kebunnya). Kemudian ia ber-tanya, ‘Wahai hamba Allah! Siapa namamu?’ Ia menja-wab, ‘Fulan’, yakni nama yang didengar di awan. Ia balik bertanya, “Wahai hamba Allah, kenapa engkau menanyakan namaku?’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang menurunkan air ini. Suara itu berkata, ‘Siramilah kebun si fulan! Dan itu adalah namamu. Apa sesungguhnya yang engkau laku-kan?’ Ia menjawab, “Jika itu yang engkau tanyakan, maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun ini, lalu aku bersedekah dengan se-pertiganya, dan aku makan beserta keluargaku seper-tiganya lagi, kemudian aku kembalikan (untuk menanam lagi) sepertiganya’.” [15]
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Dan aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan).” [16]
“Dan aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan).” [16]
Imam An-Nawawi berkata: “Hadits itu menjelaskan tentang keutamaan bersedekah dan berbuat baik kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Juga keutamaan seseorang yang makan dari hasil kerjanya sen-diri, termasuk keutamaan memberi nafkah kepada keluarga.”[17]
[1] Tafsirut Tahrir wat Tanwir, 22/221.
[2] Tafsir Ibnu Katsir, 3/595. Lihat pula, Tafsirut Tahrir wat Tanwir, di mana di dalamnya disebutkan, “Secara lahiriah, ayat itu menunjukkan adanya penggantian rizki, baik di dunia maupun di akhirat.” (22/221).
[3] At-Tafsir Al-Kabir, 25/263.
[4] Tafsirut Tahrir wat Tanwir, 22/221.
[5] Tafsir Ath-Thabari, no. atsar 6168, 5/571. Lihat pula, At-Tafsirul Kabir, 7/65, Tafsirul Khazin, 1/290. Di mana disebutkan di dalamnya: “Ampunan (yang diberikan) merupakan isyarat terhadap manfaat-manfaat akhirat dan karunia adalah isyarat terhadap manfaat-manfaat dunia berupa rizki dan ganti.”
[6] Al-Muharrarul Wajiz, 2/329.
[7] At-Tafsirul Qayyim, hal. 168. Lihat pula, Fathul Qadir oleh Asy-Syaukani, 1/438, di mana ia berkata, “Fadhl (karunia) itu adalah bahwa Allah akan mengganti kepada mereka dengan sesuatu yang lebih utama dari apa yang mereka infakkan. Maka Allah meluaskan rizkinya dan memberinya nikmat di akhirat dengan sesuatu yang lebih utama, lebih banyak, lebih agung dan lebih indah.”
[8] Shahih Muslim, kitab Az-Zakah, bab Al-Hatstsu ‘alan Nafaqah wa Tabsyiril Munfiq bil Khalf, no. 36 (993), 2/690-691.
[9] Syarh An-Nawawi, 7/79.
[10] Shahihul Bukhari, Kitab Az-Zakah, Bab Firman Allah:
Tentang do’a: “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menginfakkan hartanya,” no. 1442, 3/304.
[11] Murqatil Mafatih, 4/366. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Makna do’a ini menurut saya adalah bahwa di antara sunnah-sunnah Allah adalah Dia memberikan ganti kepada orang yang berinfak dengan memudahkan sebab-sebab rizki baginya. Lalu ia ditinggikan derajatnya di dalam hati manusia. Sebaliknya, orang yang bakhil (kikir) diharamkan dari yang demikian.” (Tafsir Manar, 4/74).
[12] Umdatul Qari, 8/307.
[13] Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. (Misykatul Mashabih, Kitab Az-Zakah, Bab Al-Infak wa Karahiyatul Imsak, no. 1885, dengan diringkas, 1/590-591). Syaikh Al-Albani berkata, ‘Hadits ini shahih karena jalur-jalurnya,’ (Hamisy Misykatil Mashabih, 1/591). Lihat pula, Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, 3/126, Kasyful Khafa’wa Muzilul Ilbas, 1/243-144, Tanqihur Ruwat fi Takhriji Ahaditsil Misykat, Syaikh Ahmad Hasan Adalah-Dahlawi, 2/19.
[14] Murqatul Mafatih, 4/389.
[15] Shahih Muslim, Kitab Az-Zuhd war Raqa’iq, Bab Ash Shadaqah alal Masakin, no. 45 (2984), 4/2288.
[16] Op. cit., 4/2288.
[17] Op. cit., 18/115.
Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya.
Di antara perbuatan yang dijadikan Allah termasuk kunci-kunci rizki yaitu melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya. Pembicaraan masalah ini –dengan memohon pertolongan Allah– akan saya lakukan melalui dua poin bahasan:
A. Yang Dimaksud Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya
Syaikh Abul Hasan As-Sindi menjelaskan tentang mak-sud melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya berkata: “Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, di mana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka tunaikanlah umrah. Dan jika kalian menunaikan umrah maka tunaikanlah haji, sebab keduanya saling mengikuti.[1]
B. Dalil Syar’i Bahwa Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya Termasuk Kunci Rizki
Di antara hadits-hadits yang menunjukkan bahwa melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya termasuk kunci-kunci rizki adalah:
- Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu anhu berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Lanjutkanlah haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa, sebagai-mana api dapat menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala haji yang mabrur[2] itu me-lainkan Surga”.[3]Dalam hadits yang mulia tersebut Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang terpercaya, yakni berbicara dengan wahyu menjelaskan bahwa buah melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya adalah hilangnya kemiskinan dan dosa. Imam Ibnu Hibban memberi judul hadits ini dalam kitab shahihnya dengan:
“Keterangan Bahwa Haji dan Umrah Menghilangkan Dosa-dosa dan Kemiskinan dari Setiap Muslim dengan Sebab Keduanya.” [4]
Sedangkan Imam Ath-Thayyibi dalam menjelaskan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :
“Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa”, dia berkata, “Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan bersedekah dalam menambah harta.”[5]
“Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa”, dia berkata, “Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan bersedekah dalam menambah harta.”[5]
- Hadits riwayat Imam An-Nasa’i dari Ibnu Abbas , ia berkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Lanjutkanlah haji dengan umrah atau sebaliknya. Kare-na sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat menghilangkan kotoran besi.” [6]Maka orang-orang yang menginginkan untuk dihilangkan kemiskinan dan dosa-dosanya, hendaknya ia segera melanjutkan hajinya dengan umrah atau sebaliknya.
[1] Hasyiyatul Imam As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa’i, 5/115. Lihat pula Faidhul Qadir oleh Al-Manawi, 3/225.
[2] Haji mabrur adalah haji yang memenuhi semua hukum-hukum (persyaratan)-nya, sehingga dilakukan sesuai dengan yang diminta dari seseorang mukallaf (yang dibebani syar’iat) secara sempurna. (Tuhfatul Ahwadzi, 3/454).
[3] Al-Musnad, no. 3669, 5/244-245. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Hajj, bab Ma Ja’a fi Tsawabul Hajji wal ‘Umrati, no. 807, 3/454 dan lafazh ini miliknya. Sunan An-Nasa’i, kitab Manasikil Haji, fadhul Mutaba’ti Bainal Hajji wal ‘Umrati, 5/115. Shahih Ibnu Khuzaimah, Kitabul Manasik, bab Al-Amru bil Mutaba’ati Bainal Hajji wal ‘Umrati, no. 464, 4/130. Al-Ihsan ila Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Hajj, bab Fadhul Hajji wal’Umrati, no. 3693, 9/6. Imam At-Tarmidzi berkata, “Hadits Ibnu Mas’ud t adalah hasan shahih gharib’. (Jami’ut Tirmidzi, 3/455). Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya shahih”. (Hamisyul Musnad, 5/244). Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini hasan shahih”. (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 1/245 dan Shahih Sunan An-Nasa’i, 2/558) Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth berkata, “Sanad hadits ini hasan”. (Hamsiyul Ihsan, 9/6).
[4] Al-Ihsan Fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, 9/6.
[5] Faidhul Qadir, 3/225.
[6] Sunan An-Nasa’i, kitab Manasikil Hajj, Fadhul Mutaba’ati Bainal Hajj wal ‘Umrati, 5/115. Syaikh Al-Albani berkata shahih. (Shahih Sunan An-Nasa’i, 2/558).
[2] Haji mabrur adalah haji yang memenuhi semua hukum-hukum (persyaratan)-nya, sehingga dilakukan sesuai dengan yang diminta dari seseorang mukallaf (yang dibebani syar’iat) secara sempurna. (Tuhfatul Ahwadzi, 3/454).
[3] Al-Musnad, no. 3669, 5/244-245. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Hajj, bab Ma Ja’a fi Tsawabul Hajji wal ‘Umrati, no. 807, 3/454 dan lafazh ini miliknya. Sunan An-Nasa’i, kitab Manasikil Haji, fadhul Mutaba’ti Bainal Hajji wal ‘Umrati, 5/115. Shahih Ibnu Khuzaimah, Kitabul Manasik, bab Al-Amru bil Mutaba’ati Bainal Hajji wal ‘Umrati, no. 464, 4/130. Al-Ihsan ila Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Hajj, bab Fadhul Hajji wal’Umrati, no. 3693, 9/6. Imam At-Tarmidzi berkata, “Hadits Ibnu Mas’ud t adalah hasan shahih gharib’. (Jami’ut Tirmidzi, 3/455). Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya shahih”. (Hamisyul Musnad, 5/244). Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini hasan shahih”. (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 1/245 dan Shahih Sunan An-Nasa’i, 2/558) Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth berkata, “Sanad hadits ini hasan”. (Hamsiyul Ihsan, 9/6).
[4] Al-Ihsan Fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, 9/6.
[5] Faidhul Qadir, 3/225.
[6] Sunan An-Nasa’i, kitab Manasikil Hajj, Fadhul Mutaba’ati Bainal Hajj wal ‘Umrati, 5/115. Syaikh Al-Albani berkata shahih. (Shahih Sunan An-Nasa’i, 2/558).
0 comments:
Posting Komentar