Ebook dan latihan Toefl

Minggu, 01 Januari 2012

MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI

Praktikum ke 5                                     Hari/Tanggal  : Selasa, 12 Oktober 2010
MK Sosiologi Umum ( KPM130)        Ruang              : RK.P25
                                                           
MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN
HUTAN ALAM PRODUKSI
Djuhendi Tadjudin

            Praktek pengelolaan sumberdaya hutan saat ini termasuk hutan alam produksi sarat dengan persengkataan. Intensitas sengketa pun cukup beragam : perbedaan, ketidaksetujuan, protes, penentangan, perusakan, sampai dengan pertikaian. Persengketaan yang terkait dengan masalah hutan alam produksi dipandang dalam garis hirarki yang linier: tata nilai, hak pemilikan, dan model pengelolaan. Para pelaku (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari:
pemerintah, masyarakat, dan swasta.
            Hutan Kemasyarakatan (HKM) merupakan perwujudan berbagai bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas. Konsep HKM berangkat dari semangat untuk mengakomodasikan: Partisipasi masyarakat lokal seluas-luasnya dan keunggulan pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal. Konsep ini membutuhkan revitalisasi kelembagaan, khususnya kelembagaan pemerintah birokrasi, antara lain berupa desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintah lokal, devolusi, yaitu penyerahan kewenangan kepada pemerintah lokal dan perubahan paradigma dari status “polisi” menjadi fasilitator dengan segala implikasinya.
            Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan tentang “Hutan Kemasyarakatan” (SKM) yang diundangkan pada tanggal 7 Oktober 1998 mengandung banyak hal yang memberatkan seperti yang ditunjukkan pada tulisan makna masyarakat setempat, hak masyarakat lokal adalah “hadiah”, batas yuridiksi,koperasi,setralisme,identitas masyarakat dengan persepsi pemerintah, going concern principle dan masyarakat sebagai perusahaan.
            Intervensi manusia terhadap  lingkungan itu dapat diterima apabila memenuhi empat prinsip yaitu nilai lingkungan, nilai ekonomi, nilai teknikal, nilai sosial. Terdapat tiga unsur pokok dalam kelembagaan sumberdaya hutan yaitu, batasan yuridiksi, aturan main, aturan perwakilan.
            Bukti yang sangat jelas dari norma hukum adalah keputusan mentri Kehutanan dan Perkebunan. Kontrol sosial tanpa kekerasan, contoh pemerintah membebaskan masyarakat untuk mengelola sumberdaya yang ada, membuat peraturan sendiri tentang tata cara pengelolaan hutan dan sebagai pelaku penyalahgunaan pemelihara sumberdaya yang tetap berpegang teguh pada UU. Dan tidak merusak lingkungan sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi. Sedangkan kontrol sosial paksaan terdapat pada pemerintah, UU dengan sanksi yang tegas.

SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
PENELITIAN HUKUM PEMILIKAN TANAH DI SEBUAH DAERAH
PERTANIAN YANG PENDUDUKNYA SANGAT PADAT
Warner Roell

            Sistem bagi hasil juga penting dalam kehidupan pertanian di Indonesia. Meskipun UU Agraria tahun 1990 mengharuskan pertanian mengelola tanahnya sendiri. Tahun yang sama, penggarapan bagi hasil diantara petani lebih dari 50% dan hasil yang mereka terima kebanyakan hanya 30% sampai 40%. Daerah yang padat penghuninya seperti Jawa, jumlahnya diperkirakan lebih dari 0%. Kesulitannya yaitu mencatat secara tepat kontrak-kontrak yang kebanyakan dilakukan dengan lisan. Daerah penelitian terletak antara kota Yogyakarta dan Surakarta termasuk daerah terpadat penduduknya di Jawa. Kepadatan penduduk mencapai lebih dari 15.000 jiwa/hektar lahan pertanian. Jumlah penduduk antara tahun 1920 dan 1969 tumbuh lebih dari dua kali lipat. Dinamika ini disebabkan oleh makin buruknya struktur sosio-ekonomi. Bentuk pertanian yang umum adalah persawahan padat karya dengan hasil panen tinggi. Tingkat teknik produksi masih redah. Kurangnya modal dan tawaran berlebih, sarana produksi berupa tenaga kerja, menyebabkan timbulnya sistem bagi hasil dan hubungan kerja dasar bagian yang sedikit bagi penggarap dalam mengelola lahannya. Yang biasa terjadi adalah pembagian warisan “terselubung” tanpa memecah langsung lahan pertanian dengan mengutamakan keturunan laki-laki, sehingga lahan pertanian tersebut dikelola oleh sejumlah keluarga.Kesempatan kerja di sektor industri sangat sedikit. Sedangkan kesempatan kerja pada industri rumah tangga kerajinan dan industri kecil pedesaan yang bersifat informal juga telah terisi penuh.
            Produksi bahan makanan terutama produksi beras melampaui kebutuhan penduduk, namun daya beli rendah, sering menyebabkan timbul masalah pangan yang gawat. Akibat kelemahan struktur pertanian dan tidak adanya cadangan tanah, maka jumlah lapisan penduduk pertanian yang tidak memiliki tanah terus meningkat. Sistem bagi garap yang menyebar luas merupakan pencerminan kekurangan tanah dan tidak adanya peluang pekerjaan alternatif. Para penggarap terutama dari kelompok sosial pedesaan bawah kebanyakan memiliki pondok sederhana dari bambu dengan pekarangan kecil. Rata-rata pemilik hewan adalaah pemimpin-pemimpin desa. Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai. Pembagian panen antar penggarap dan pemilik tanah sebesar 6:4 yang dipropogandakan oleh PKI telah dilarang dan Undang-Undang penggarapan tahun 1960. Dengan bagi hasil pemilik tanah dan penggarap mendapatkan 1:1 hasil panen kotor untuk padi, dan 1:2 untuk palawija di sawah, tidak menunjukkan keberhasilan. Sebagai ukuran dasar pembanding bagi hasil adalah kualitas tanah, letak tanah, bentuk pengolahan, hasil tanaman dan sebagainya. Bentuk-bentuk dasar bagi hasil ada tiga yaitu, sistem maro, sistem mertelu, dan sistem mrapat.
Demi perbaikan kepentingan sosial yang dibutuhkan, maka harus dilakukan penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil di Jawa yang telah digambarkan. Pelaksanaan Undang-Undang Agraria 1960 hanya merupakan langkah pertama yang penting untuk mengantar ke proses perubahan sosial yang lebih baik. Usaha-usaha selanjutnya dirancang serasi dalam bidang pertanian, bidang politik kependudukan, usaha industrial dan infrastruktur, harus terus diupayakan.
Analisis Bacaan I :   
  1. Kelembagaan dan Pelembagaan menurut sektor :
a.      Publik :
Dengan para pelaku (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari: pemerintah, masyarakat, dan swasta”. Bacaan diatas menunjukkan adanya kelembagaaan dan pelembagaan masyarakat yang berstatus sebagai publik.


b.      Partisipatory :
Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dibuat oleh pemerintah ini merupakan perwujudan berbagai bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas”.
Bacaan ini merupakan salah satu contoh wujud partisipasi pemerintah terhadap masyarakat.
c.      Privat :
Pembaca tidak menemukan adanya sektor privat karena dalam bacaan ini tak ada yang berorientasi pada upaya mencari keuntungan, seperti perdagangan dan industry.
  1. Tingkatan Norma dan Sangsi ( moral dan masyarakat ) serta proses pelembagaannya :
Kontrol sosial tanpa kekerasan, contoh pemerintah membebaskan masyarakat untuk mengelola sumberdaya yang ada, membuat peraturan sendiri tentang tata cara pengelolaan hutan dan sebagai pelaku penyalahgunaan pemelihara sumberdaya yang tetap berpegang teguh pada UU “ Bacaan ini menunjukkan adanya norma dalam masyarakat dan sangsi-sangsinya serta proses pelembagaannya.
  1. Kelembagaan sosial sebagai kontak sosial :
Adanya HKM ( Hutan Kemasyarakatan ) merupakan sebuah kelembagaan sosial sebagai kontak sosial bagi pemerintah, masyarakat, dan swasta.
 
Analisis Bacaan II : 
1.      Kelembagaan dan Pelembagaan menurut sektor :
a.      Publik :
Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai.” Bacaan ini menunjukkan adanya kelompok sosial yang berstatus sebagai sebuah organisasi dan pemerintah local.  
b.      Partisipatory :
Terdapat partisipasi dari masyarakat itu sendiri untuk mengadakan system bagi hasil meskipun UU Agraria tahun 1990 mengharuskan pertanian mengelola tanahnya sendiri.
c.      Privat :
Kesempatan kerja di sektor industri sangat sedikit. Sedangkan kesempatan kerja pada industri rumah tangga kerajinan dan industri kecil pedesaan yang bersifat informal juga telah terisi penuh ”. Bacaan ini menunjukkan adanya sektor privat yaitu industri. 
2.      Tingkatan Norma dan Sangsi ( moral dan masyarakat ) serta proses pelembagaannya :
Bacaan ini tidak mengacu pada norma dan sangsi dalam masyarakat, melainkan mengacu pada sistem bagi hasil serta dampaknya terhadap pertanian.
3.      Kelembagaan sosial sebagai kontak sosial :
Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai”. Bacaan ini menunjukkan adanya kontak sosial antar sesama petani.

2 comments: